Kerajaan Tanjungpura merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Kerajaan yang terletak di Kabupaten Ketapang ini pada abad ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Tanjungpura pernah menjadi provinsi Kerajaan Singhasari sebagai Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti tumbuhan tanjung (Mimusops elengi), sehingga setelah dimelayukan menjadi Tanjungpura. Wilayah kekuasaan Tanjungpura membentang dari Tanjung Dato (Sambas) sampai Tanjung Puting, yaitu mencakup sebagian wilayah propinsi Kalimantan Barat dan sebagian wilayah Kalimantan Tengah bagian barat sekarang.
Kemudian Tanjungpura menjadi sebuah propinsi Majapahit, kemungkinan nama Tanjungpura sudah menjadi umum untuk sebutan pulau Kalimantan. Selepas mangkatnya Gajah Mada kemungkinan ibukota pulau Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang lebih strategis untuk menguasai wilayah lebih luas lagi. Menurut Hikayat Banjar, kerajaan di Kalimantan Selatan saat itu yaitu Negara Dipa sudah memiliki pengaruh luas membentang dari Kerajaan Sambas hingga Karasikan (Kerajaan Tidung) di perbatasan Kalimantan Timur-Sabah dengan rajanya seorang dara ketika ia mulai memerintah yaitu Putri Junjung Buih/Raden Galuh Ciptasari/Putri Ratna Janggala-Kadiri. Putri Junjung Buih (= Bhre Tanjungpura I?) digantikan oleh puteranya yang urutan ke-3 bernama Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura II?). Raden Sekar Sungsang putera Pangeran Aria Dewangsa (= Bhre Tanjungpura III?) memindahkan ibukota ke hilir dengan nama Kerajaan Negara Daha. Menurut Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), ketika merantau ke Giri, Raden Sekar Sungsang mulai mengenal agama Islam dan menjadi besan Sunan Giri kemudian ia mendapat gelar Panji Agung Rama Nata. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Manggalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre Tumapel III Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani Dyah Suragharini menjabat Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit, Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Mahapatih Gajahmada sebagai pranala, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai ansa-nya.
Perpindahan ibukota kerajaan
Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau dikenal sebagai Lanon. Konon, di masa itu sepak-terjang gerombolan Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kerajaan Tanjungpura sering beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain. Kerap berpindah-pindahnya ibukota Kerajaan Tanjungpura dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang ditemukan di bekas ibukota-ibukota kerajaan tersebut. Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan dimulai. Seorang penulis Belanda menyebut wilayah itu sebagai Kerajaan Matan, kendati sesungguhnya nama kerajaan tersebut pada waktu itu masih bernama Kerajaan Tanjungpura (Mulia [ed.], 2007:5). Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yakni pada 1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Perpindahan ibukota Kerajaan Sukadana
Menurut Catatan Gusti Iswadi, S.sos dalam buku Pesona Tanah Kayong, Kerajaan Tanjungpura dalam perspektif sejarah disebutkan, bahwa, dari negeri baru kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana sehingga disebut Kerajaan Sukadana, kemudian pindah lagi Ke Sungai Matan (sekarang Kec. Simpang Hilir). Dan semasa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin sekitar tahun 1637 pindah lagi ke Indra Laya sehingga disebut Kerajaan Indralaya. Indra Laya adalah nama dari satu tempat di Sungai Puye anak Sungai Pawan Kecamatan Sandai. Kemudian disebut Kerajaan Kartapura karena pindah lagi ke Karta Pura di desa Tanah Merah, Kec. Nanga Tayap, kemudian baru ke Desa Tanjungpura sekarang (Kecamatan Muara Pawan) dan terakhir pindah lagi ke Muliakarta di Keraton Muhammad Saunan yang ada sekarang yang terakhir sebagai pusat pemerintahan swapraja.
Bukti adanya sisa kerajaan ini dapat dilihat dengan adanya makam tua di kota-kota tersebut, yang merupakan saksi bisu sisa kerajaan Tanjungpura dahulu. Untuk memelihara peninggalan ini pemerintah Kabupaten Ketapang telah mengadakan pemugaran dan pemeliharaan di tempat peninggalan kerajaan tersebut. Tujuannya agar genarasi muda dapat mempelajari kejayaan kerajaan tanjungpura di masa lampau.
Dalam melacak jejak raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Matan, patut diketahui pula silsilah raja-raja Kerajaan Tanjungpura karena kedua kerajaan ini sebenarnya masih dalam satu rangkaian riwayat panjang. Berhubung terdapat beberapa versi tentang sejarah dan silsilah raja-raja Tanjungpura beserta kerajaan-kerajaan lain yang masih satu rangkaian dengannya, maka berikut ini dipaparkan silsilahnya menurut salah satu versi, yaitu berdasarkan buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007) suntingan Drs. H. Gusti Mhd. Mulia:
Kerajaan Tanjungpura
1. Brawijaya (1454–1472)
2. Bapurung (1472–1487)
3. Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
Pada masa pemerintahan Panembahan Karang Tanjung, pusat Kerajaan Tanjungpura yang semula berada di Negeri Baru dipindahkan ke Sukadana, dengan demikian nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
Kerajaan Sukadana
1. Panembahan Karang Tanjung (1487–1504)
2. Gusti Syamsudin atau Pundong Asap atau Panembahan Sang Ratu Agung (1504–1518)
3. Gusti Abdul Wahab atau Panembahan Bendala (1518–1533)
4. Panembahan Pangeran Anom (1526–1533)
5. Panembahan Baroh (1533–1590)
6. Gusti Aliuddin atau Giri Kesuma atau Panembahan Sorgi (1590–1604)
7. Ratu Mas Jaintan (1604?1622)
8. Gusti Kesuma Matan atau Giri Mustika atau Sultan Muhammad Syaifuddin (1622–1665)
Inilah raja terakhir Kerajaan Sukadana sekaligus raja pertama dari Kerajaan Tanjungpura yang memeluk agama Islam.
Kerajaan Matan
1. Gusti Jakar Kencana atau Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724)
2. Gusti Kesuma Bandan atau Sultan Muhammad Muazzuddin (1724–1738)
3. Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung atau Sultan Muhammad Tajuddin (1738–1749)
4. Gusti Kencuran atau Sultan Ahmad Kamaluddin (1749–1762)
5. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
Gusti Asma adalah raja terakhir Kerajaan Matan dan pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Kerajaan Matan dialihkan ke Simpang, dan nama kerajaannya pun berganti menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan.
Kerajaan Simpang-Matan
1. Gusti Asma atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1762–1819)
2. Gusti Mahmud atau Panembahan Anom Suryaningrat (1819–1845)
3. Gusti Muhammad Roem atau Panembahan Anom Kesumaningrat (1845–1889)
4. Gusti Panji atau Panembahan Suryaningrat (1889–1920)
5. Gusti Roem atau Panembahan Gusti Roem (1912–1942)
6. Gusti Mesir atau Panembahan Gusti Mesir (1942–1943)
7. Gusti Ibrahim (1945)
Gusti Mesir menjadi tawanan tentara Jepang yang berhasil merebut wilayah Indonesia dari Belanda pada 1942, karena itulah maka terjadi kekosongan pemerintahan di Kerajaan Simpang. Pada akhir masa pendudukan Jepang di Indonesia, sekira tahun 1945, diangkatlah Gusti Ibrahim, anak lelaki Gusti Mesir, sebagai raja. Namun, karena saat itu usia Gusti Ibrahim baru menginjak 14 tahun maka roda pemerintahan dijalankan oleh keluarga kerajaan yaitu Gusti Mahmud atau Mangkubumi yang memimpin Kerajaan Simpang hingga wafat pada 1952.
Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II
1. Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat[1]
2. Pangeran Agung
3. Sultan Mangkurat Berputra
4. Panembahan Anom Kesuma Negara atau Muhammad Zainuddin Mursal (1829-1833)[2]
5. Pangeran Muhammad Sabran[3]
6. Gusti Muhammad Saunan[4]
Meski terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan, namun kerajaan-kerajaan turunan Kerajaan Tanjungpura (Kerajaan Sukadana, Kerajaan Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan atau Kerajaan Tanjungpura II) masih tetap eksis dengan pemerintahannya masing-masing. Silsilah raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Matan (dan sebelum berdirinya Kerajaan Matan) di atas adalah salah satu versi yang berhasil diperoleh. Terdapat versi lain yang juga menyebutkan silsilah raja-raja Matan yang diperoleh dari keluarga Kerajaan Matan sendiri dengan menghimpun data dari berbagai sumber (P.J. Veth, 1854; J.U. Lontaan, 1975; H. von Dewall, 1862; J.P.J. Barth, 1896; Silsilah Keluarga Kerajaan Matan-Tanjungpura; Silsilah Raja Melayu dan Bugis; Raja Ali Haji, Tufat al-Nafis; Harun Jelani, 2004; H.J. de Graaf, 2002; Gusti Kamboja, 2004), yakni sebagai berikut:
Kerajaan Tanjungpura
1. Sang Maniaka atau Krysna Pandita (800 M–?)[5]
2. Hyang-Ta (900–977)[6]
3. Siak Bahulun (977–1025)[7]
4. Rangga Sentap (1290–?)[8]
5. Prabu Jaya/Brawijaya (1447-1461)[9]
6. Raja Baparung, Pangeran Prabu (1461–1481)
7. Karang Tunjung, Panembahan Pudong Prasap (1481–1501)
8. Panembahan Kalahirang (1501–1512)[10]
9. Panembahan Bandala (1512–1538); Anak Kalahirang
10. Panembahan Anom (1538–1565); Saudara Panembahan Bandala
11. Panembahan Dibarokh atau Sibiring Mambal (1565?1590)
Kerajaan Matan
1. giri Kusuma (1590–1608); Anak Panembahan Bandala
2. Ratu Sukadana atau Putri Bunku/Ratu Mas Jaintan (1608–1622); Istri Giri Kusuma/Anak Ratu Prabu Landak
3. Panembahan Ayer Mala (1622–1630); Anak Panembahan Bandala
4. Sultan Muhammad Syafeiudin, Giri Mustaka, atau Pangeran Iranata/Cakra (1630–1659); Anak/Menantu Giri Kusuma
5. Sultan Muhammad Zainuddin/Pangeran Muda (1659–1725); Anak Sultan Muhammad Syaeiuddin
6. a. Pangeran Agung (1710–1711); Perebutan kekuasaan
b. Pangeran Agung Martadipura (1725–1730); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan memimpin kerajaan di Tanah Merah
1. Pangeran Mangkurat/Sultan Aliuddin Dinlaga (1728–1749); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan di Sandai dan Tanah Merah
2. a. Pangeran Ratu Agung (1735–1740); Anak Sultan Muhammad Zainuddin, pembagian kekuasaan, memimpin kerajaan di Simpang
b. Sultan Muazzidin Girilaya (1749–1762); Anak Pangeran Ratu Agung, memimpin kerajaan di Simpang
1. Sultan Akhmad Kamaluddin/Panembahan Tiang Tiga (1762–1792); Anak Sultan Aliuddin Dinlaga
2. Pangeran Ratu atau Sultan Muhammad Jamaluddin (1792–1830); Anak Sultan Akhmad Kalamuddin
3. Pangeran Adi Mangkurat Iradilaga atau Panembahan Anom Kusuma Negara (1831–1843); Anak Pangeran Mangkurat
4. Pangeran Cakra yang Tua atau Pangeran Jaya Anom (1843–1845); Sebagai pejabat perdana menteri, anak Pangeran Mangkurat
5. Panembahan Gusti Muhammad Sabran (1845–1908); Anak Panembahan Anom Kusuma Negara
6. Pangeran Laksamana Uti Muchsin (1908–1924); Anak Panembahan Gusti Muhammad Sabran
7. Panembahan Gusti Muhammad Saunan atau Pangeran Mas (1924–1943); Anak Gusti Muhammad Busra
8. Majelis Pemerintah Kerajaan Matan (1943–1948), terdiri dari Uti Halil (Pg. Mangku Negara), Uti Apilah (Pg. Adipati), Gusti Kencana (Pg. Anom Laksamana)
Penggunaan nama kerajaan
Saat ini nama kerajaan ini diabadikan sebagai nama universitas negeri di Kalimantan Barat yaitu Universitas Tanjungpura di Pontianak, dan juga digunakan oleh TNI Angkatan Darat sebagai nama Kodam di Kalimantan yaitu Kodam VI/Tanjungpura
0 comments:
Post a Comment