Tanggal 18 Agustus 1930 Pengadilan Kolonial Bandung dibikin geger oleh seseorang. Hari itu memang tengah berlangsung sidang menghebohkan. surat kabar meliput dan radio menyiarkan. Hari itu seseorang sedang manapak karirnya di dunia politik. Dan dia membacakan pleidoi yang sangat mengesankan.
Kasusnya bukan kasus sembarangan dan orang yang membuat geger itu juga bukan orang sembarangan. Soekarno di hari-hari itu, tampaknya sedang menggantang kemampuan sekaligus mengukur kapabilitas politiknya yang ia timba dari beragam pengalaman pahit masa lalu.
Kasusnya terkenal sebagai “proses PNI “ adalah semacam tuduhan makar terhadap Soekarno cs kala itu.
Bertindak selaku Hakim Ketua dalam sidang hari itu adalah Mr.Siegenbeek Van Heukelom dengan Jaksa Penuntut R. Sumadisurja. Tuntutan jaksa sebenarnya tak jelas alias kabur. Dalam tuntutan misalnya, Jaksa secara implisit hanya mengajukan dakwaan bahwa tokoh-tokoh pergerakan nasional berindikasi menghasut masyarakat untuk melakukan pemberontakkan terhadap penguasa. Namun tak jelas hasutan macam apa dan pemberontakan seperti apa. Semuanya menjadi sumir.
Namun terang atau kabur tuntutan jaksa bukan soal bagi Bung Karno.Toh melalui sidang itu nanti ia punya satu momen untuk melepas uneg-uneg yang selama itu terpendam dalam “kawah candradimuka“ istilah Soekarno waktu itu.
Kedua orang ini dan tentu juga pengunjung sidang yang lain akhirnya dibuat tak berkutik oleh Soekarno. Mereka dipaksa menyimak rangkaian kata dan kalimat si-Bung yang penuh api dan gelora. “Maaflah tuan-tuan Hakim, kalau kami dalam pidato ini minta tuan-tuan punya perhatian sampai berjam-jam lamanya. Maaflah pula kalau kami di sana sini mendalilkan beberapa dalil dari beberpa buku“ ujarnya mengayun kata.
Kutipan dalil dari sejumlah literatur itu menurut Soekarno sangat penting. ”Untuk membuktikan ucapan terutama yang pahit dan getir, bukanlah isapan jempol kami sendiri” kata Bung Karno. Pembelaan itu pada akhirnya menjadi semacam teriakan ketidakpuasan pada penguasa Kolonial Belanda. Soekarno tak hanya membela tapi ia juga menggugat.
Pembelaan panjang Soekarno itu yang saya dalam buku “Indonesia Menggugat” memang tidak datang dari ruang hampa.ratusan literatur pakar dari beragam disiplin ilmu yang dia baca, dikutipnya hari itu. Ia misalnya mengutuk sifat Imperialisme Belanda yang dalam kata-kata Bung Karno sebagai suatu nafsu mengusai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain. ”Terutama di dalam sifatnya mempengaruhi rumah tangga bangsa lain, Imperialisme jaman sekarang sama berbuahkan kemelaratan” ujarnya mengutip Pieter Jelles Toelstra, seorang sosialis Belanda.
Bahkan tak Cuma itu, barisan pakar aneka disiplin ilmu dari berbagai negara diboyongnya ke ruang sidang : Brailsford, Van Kol Henri Hubert, Otto Bauer, Rudolf Hiferding dan banyak lagi.Yang jadi soal kemudian, bagaimana Soekarno membaca semua itu dengan baik ditengah kondisi tanah air yang kala itu sedang bergelota ?
Jawabnya mungkin : karena Soekarno lahir dan dibesarkan di tengah kancah pergerakan nasional yang berjuang untuk membebaskan diri dari belenggu Kolonial. Ciri khas Soekarno yang lain adalah bahwa dia memang mencintai ilmu pengetahuan sampai ke tulang sum-sumnya.
Satu hal yang menarik dalam sidang itu bahwa pengadilan berlangsung bersih. Bebas dari tekanan dan intimidasi. Dengan kata lain, semangat demokrasi sangat dijunjung tinggi dalam pengadialn Konial ini. Seseorang berhak membela diri. Bahkan menghujat lawan merupakan hal jamak dalam ruang sidang. Sekalipun terdakwanya seorang pribumi. Apa jadinya bila gaya membela diri ala Soekarno di pengadilan Kolonial Bandung itu kita adopsi dalam ruang sidang pengadilan sekarang ini ?
0 comments:
Post a Comment