Jika ditanyakan kepada semua partai politik, apakah mereka berhaluan nasionalis dan memperjuangkan nasionalisme Indonesia itu? Maka mereka pasti menjawab: ya, kami nasionalis tulen, yang menempatkan nasionalisme itu sebagai aras perjuangan partai kami. Bahkan, partai yang mengedepankan agama pun, jika ditanya soal nasionalisme, maka mereka akan segera menjawab: kami nasionalis-religius.
Akan tetapi, kendati ada banyak partai politik yang berhaluan nasionalis, mengaku menempatkan nasionalisme sebagai aras perjuangan politiknya, tetapi tetap saja kekayaan alam kita yang melimpah bisa diangkut dengan mudah oleh perusahaan-perusahaan asing ke negeri asalnya. Meskipun banyak partai yang mengaku nasionalis, baik yang terang-terangan nasionalis maupun yang nasionalis religius, tetapi kondisi rakyat Indonesia sangat miskin dan sengsara.
Apa pula hubungannya antara nasionalisme Indonesia dan perampokan sumber daya alam? ataukah, apa hubungan nasionalisme Indonesia dengan persoalan rakyat Indonesia yang miskin dan sengsara?
Sejak awal, jauh sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno sudah mengatakan bahwa watak dari nasionalisme Indonesia adalah sosio-nasionalisme, sebuah bentuk nasionalisme yang secara terang-terangan berbeda dengan nasionalisme di eropa atau nasionalisme borjuis.
Dalam penjelasan mengenai apa itu sosio-nasionalisme Bung Karno mengatakan:
“Memang, maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, dan tidak ada kaum yang papa-sengsara.”
Menyimak pernyataan Bung Karno di atas, terang sekali bahwa sosio-nasionalisme atau nasonalisme Indonesia itu adalah berjuang untuk kemajuan atau kemaslahatan seluruh rakyat, bukan segelintir orang atau golongan. Mari kita melihat fakta: ekonom dari ECONIT, Hendri Saparini pernah mengungkapkan, ada 150 orang terkaya di Indonesia menguasai Rp650 trilyun, sedangkan ada 40 juta rakyat Indonesia hidup dengan 6 ribu per-hari.
Masyarakat yang pincang, dalam pengertian Bung Karno, adalah masyarakat kapitalis, yang mana di dalamnya terdapat kelas-kelas sosial. Oleh karena itu, Bung Karno menegaskan, bahwa sosio-nasionalisme itu haruslah nasionalisme kaum marhaen, dan menolak segala tindak borjuisme yang dianggap penyebab kepincangan.
Kalau mau disederhanakan lagi: sosio-nasionalisme Indonesia itu tidak hanya mencari atau mengusahakan Indonesia merdeka, yaitu lepas dari kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga mengusaha hilangnya kepincangan dalam masyarakat, yaitu menghilangkan susunan masyarakat kapitalis. Pendek kata: sosio-nasionalisme itu adalah anti-imperialisme dan anti-kapitalisme.
Dan, karena berwatak anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, maka nasionalisme Indonesia tidak berhenti pada tercapainya Indonesia merdeka saja. Sebaliknya, Indonesia merdeka itu hanya syarat saja untuk memperbaiki Indonesia yang rusak itu.
Sekarang, kita tanyakan kepada partai-partai yang mengaku nasionalis itu, apakah mereka juga anti-imperialisme dan anti-kapitalisme? Kalau tidak, mereka berarti bukanlah sosio-nasionalis atau bukan nasionalis ala Indonesia, melainkan nasionalis borjuis.
Seorang nasionalis, kata Bung Karno, harus membuka mata terhadap keadaan-keadaan yang nyata di dalam masyarakat. Jika ada nasionalis hanya sibuk bekerja di gedung parlemendan kurang peka dengan persoalan rakyat di sekitarnya, maka mereka itu bukan nasionalis. Seorang sosio-nasionalis, dalam pengertian Bung Karno, nasionalis yang mau memperbaiki masyarat dan juga anti segala stelsel (sistem) yang mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat itu.
0 comments:
Post a Comment