JIKA kita kembali kepada fakta sejarah masa lalu, Bung Karno beserta tokoh lainnya berhasil merumuskan Pancasila sebagai sebuah ideologi negara yang sesuai dengan pandangan hidup dan cita-cita bangsa Indonesia.
Sebuah cita-cita yang tertuang dalam rumusan Pancasila dan pembukaan UUD 1945 berkomitmen untuk memerdekakan seluruh rakyat Indonesia. Baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Sehingga, terciptanya masyarakat Indonesia yang bebas merdeka dari segala bentuk penjajahan dan terpenuhinya hak sebagai warga negara untuk berpenghidupan laik.
Menilik penyelenggaraan pemerintah hari ini, secara kasatmata masyarakat bisa menilai bahwa cita-cita mewujudkan demokrasi Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat belum terwujudkan. Terlebih kecenderungan melemahnya peran negara yang dibuktikan dengan politik kepentingan. Selain itu, juga kebobrokan penyelenggara negara adalah bukti cita-cita Indonesia berdikari di bidang ekonomi sangat jauh dari bukti.
Benang merah kondisi ekonomi negara kita saat ini adalah buntut atas keberpihakannya kepada sebuah sistem ekonomi neoliberalisme. Di mana sangat menjunjung tinggi individualisme dan mekanisme pasar. Dampaknya, peran negara kalah oleh kelompok kapital yang sangat bebas mengocok perekonomian Indonesia.
Seharusnya kita tetap berpijak pada pemikiran ekonomi para founding father yang berhasil meletakkan nilai-nilai Pancasila dalam aktivitas ekonomi Indonesia. Seperti dicontohkan Bung Karno.
Pidato Bung Karno yang berjudul Deklarasi Ekonomi pada 1963 banyak memuat pemikiran dasar strategi ekonomi. Bung Karno mencoba menggunakan analisa marxisme untuk menjawab persoalan-persoalan ekonomi Indonesia.
Selain itu, dalam berbagai kesempatan pun Bung Karno mengungkapkan kedaulatan politik dan berkepribadian dalam kebudayaan tidak mungkin diraih bila tak berdikari dalam ekonomi. Begitu pula dengan kemandirian ekonomi, tidak dapat dilaksanakan bila bangsa kita tak ada kedaulatan secara politik serta berkepribadian dalam kebudayaan.
Berdikari yang digagas Bung Karno tidak hanya sebagai tujuan. Tapi juga sebagai prinsip dari cara mencapai tujuan. Di mana, prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Tentunya nilai-nilai kemandirian ini bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Dengan demikian, nilai kemandirian dalam pemikiran ekonomi berdikari, Bung Karno berusaha memunculkan pemecahan persoalan ekonomi. Yakni dengan harapan, rakyat bisa berdaulat terhadap persoalan-persoalan ekonomi.
Sebagaimana pernyataannya dalam amanat proklamasi; ’’Perasaan dan pikiran saya mengenai ekonomi adalah sederhana, amat sederhana sekali. Boleh dirumuskan sebagai berikut: Kalau bangsa-bangsa yang hidup di padang pasir yang kering dan tandus bisa memecahkan persolan ekonominya, kenapa kita tidak’’.(Amanat Proklamasi IV:99)
Pernyataan tersebut jelas sindiran yang bermuatan motivasi bagi kita sebagai generasi penerus Indonesia. Gambaran dari pernyataan beliau bermaksud agar kita bisa memanfaatkan wilayah yang luas dengan kekayaan sumber alam melimpah dari bumi Indonesia untuk kemakmuran.
Tentu saja pernyataan beliau bukan hanya omong kosong. Tapi bukti dari gagasan beliau adalah dengan adanya Deklarasi Ekonomi (1963). Yakni meletakkan politik sebagai pembuka jalan bagi kebijakan perekonomian.
Dengan kekuatan politik ekonomi, Bung Karno berhasil berjuang menghapuskan sisa-sisa feodalisme dan imperialisme asing yang merenggut hak-hak rakyat Indonesia dan dengan mengembalikan kedudukan rakyat sebagai kekuatan ekonomi.
Menurut Bung Karno, rakyat adalah pemilik alat produksi. Sehingga, kedaulatan ekonomi harus di tangannya yang pada masa itu dikuasai para kapital (pengusaha) dan kaum feodal.
Sebagai langkah tindak lanjut dalam menjaga konsistensi terhadap kekuatan rakyat, Bung Karno sangat selektif pada bantuan/pinjaman modal asing. Bahkan, apabila pinjaman asing mengandung berbagai persyaratan untuk campur tangan dalam urusan kebijakan negara, sama halnya menggadaikan kedaulatan negara di tangan asing.
Berbanding terbalik dengan kondisi kebijakan penyelenggara negara kita saat ini, yang terkesan menggadaikan negara demi kepentingan pencitraan. Terbukti dengan meningkatnya utang luar negeri Indonesia pada 2012 menjadi USD221,60 miliar dari sebelumnya USD132,63 miliar pada 2006. (Data Bank Indonesia 2012).
Jika Bung Karno berani mengeluarkan pernyataan; go to hell with your aid, terhadap bantuan asing yang berlatar belakang kepentingan politik. Apakah penyelenggara negara kita saat ini berani demikian?
Tentu kita semua mengetahui jawabannya. Sebab, hingga kini para pemimpin kita masih bermental pengemis, peminta-minta utang kepada negara lain.
Hendaknya, gagasan Bung Karno yang menjadikan kekuatan rakyat sebagai tonggak untuk menjaga kedaulatan ekonomi bisa diteladani oleh penyelenggara negara kita saat ini dengan menolak tegas campur tangan asing
0 comments:
Post a Comment