Home » , , » Napak Tilas Bulan Bung Karno Presiden RI

Napak Tilas Bulan Bung Karno Presiden RI

Written By Gpnkoe on Saturday, July 28, 2012 | 10:14 AM

BULAN Juni adalah bulan Bung Karno. Putra Sang Fajar itu lahir di Surabaya, 6 Juni 1901, dan wafat di Jakarta, 21 Juni 1970. Wajar jika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) beberapa waktu lalu menggelar Bulan Bung Karno, bulan yang menjadi momen penting bagi bangsa ini untuk mengenang kembali sosok Presiden RI pertama itu.
Menukil sejarah, Bung Karno adalah pejuang yang menghabiskan separuh hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia. Pantas, jika rakyat negeri ini menyambut Bulan Bung Karno dengan antusias menyala. Di hadapan ribuan kader PDIP, Puan Maharani, Ketua DPP PDIP dan cucu Bung Karno, berorasi soal semangat gotong royong yang pernah dikobarkan Bung Karno.

Sejak benih-benih nasionalisme tumbuh di Hindia Belanda, Bung Karno ini memang telah dididik menjadi seorang antikolonial sejati. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah seorang guru-teosof yang menginginkan anaknya menjadi seorang pejuang kemerdekaan; seperti sosok "Prabu Karna" dalam mitologi pewayangan Jawa.

Keinginannya yang besar, mendorong Soekemi menitipkan Soekarno muda mondok di rumah HOS Tjokroaminoto, seorang pejuang nasionalis paling terkemuka di Jawa saat itu. Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, adalah orang kedua yang membentuk watak militan Bung Karno. Sementara dari Sarinah, mbok m"ban yang sangat dikaguminya, Soekarno kecil menimba arti penting mencintai rakyat jelata, yang kemudian dirumuskan Bung Karno ke dalam "Marhaenisme".

Marhaenisme adalah konsep genuine Bung Karno yang menggambarkan kondisi rakyat kita yang marjinal. Marhaenisme tak spesifik mengacu kelas tertentu, seperti kelas buruh di Eropa. Marhaen mencakup petani kecil dan petani penggarap, pekerja rendahan dan pedagang kecil. Dalam banyak hal, kelompok Marhaen adalah wajah nyata kehidupan sosio-ekonomis masyarakat Indonesia yang miskin (poor) dan nyaris miskin (near poor).

Pembentukan karakter Bung Karno diperkokoh oleh Tjokroaminoto yang memperkenalkan Islamisme, sosialisme dan nasionalisme. Warisan idiologi dari Pak "Tjok kemudian dipertajam oleh Tjipto Mangunkusumo, seorang pejuang nasionalis (pendiri indische partij) yang menjadi guru nasionalisme kedua Bung Karno. Lewat Tjipto, Soekarno memperoleh arti penting nasionalisme Indonesia yang dinamis.

Sementara dari gurunya di HBS, Prof Hartogh, Bung Karno mendalami Marxisme dan sosialisme. Keingintahuannya yang besar pada gagasan pemimpin dunia, dan jiwanya yang terus bergolak, memaksanya menyelam lebih dalam ke "dunia pemikiran".

Bung Karno membaca ratusan buah pikir para tokoh progresif dunia, mulai dari Thommas Jafferson, George Washington, Abraham Lincoln, Otto von Bismarck, Meurabeu, Gladstone, sampai Garibaldi. Ia berdialog secara imajiner dan emosional dengan Karl Marx, Engels, Lenin, Rousseou, Voltaire, dan Danton (Cindy Adams, 1966).

Karakter politik antikolonial Bung Karno terus berlanjut hingga ia mengalami masa pembuangan dan pemenjaraan, masa pendudukan Jepang, masa revolusi kemerdekaan, bahkan menelusuk jauh ke dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia "bebas-aktif"; masa dimana ia telah menjadi seorang presiden dari sebuah negara merdeka. Persepsi, sikap, dan policy Bung Karno dalam mengendalikan diplomasi Indonesia bersumber dari pengalamannya selama masa perjuangan kemerdekaan dan masa-masa pahit pembentukan nation-state Indonesia.

Di panggung politik internasional, Bung Karno dikenal sebagai pemimpin Dunia Ketiga yang paling sering kecewa dengan kinerja PBB. Sejak awal, Bung Karno tidak menyukai struktur DK-PBB yang terlalu didominasi kepentingan Barat (the old establishment forces/Oldefos); tanpa memperhitungkan representasi negara-negara Nefos (newly emerging forces) yang sukses memelopori kemerdekaan Dunia Ketiga melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955).

Sebagai aktor politik internasional yang charming dan kosmopolitan, Bung Karno kerap membuat dunia berdecak kagum. Keberaniannya memarahi Presiden Dwight Eisenhower-yang terlambat menyambutnya ketika ia mengunjungi AS tahun 1956-adalah contohnya. John F Kennedy, justru amat mengagumi Bung Karno. Kennedy menjuluki Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu sebagai "Thomas Jafferson dan George Whasington"-nya bangsa Indonesia.

Ketika Bung Karno melakukan kunjungan ke China, pemerintah China menghormati tamu agungnya itu dengan memasang foto-foto Bung Karno sejajar dengan Mao Tse Tung, di hampir seluruh sentra-sentra strategis ibukota negara itu. Gayanya yang kontroversial membuat media massa Amerika pada dekade 1960-an menyebutnya sebagai "tamu agung dunia abad ke-20".

Bung Karno benar-benar memanfaatkan posisi Indonesia sebagai negara besar dan strategis, termasuk pesona dan daya pikat personalnya yang luar biasa itu, menjadi sebuah "value added" dalam diplomasi internasional Indonesia. Kebijakan politik luar negeri Indonesia yang high profile ala Bung Karno, tak pelak membuat suara Indonesia dan rakyat Dunia Ketiga terdengar nyaring ke seantero penjuru dunia.

Dalam urusan "bersih diri", Bung Karno tercatat sebagai pemimpin yang tak memilki secuil pun aset bisnis atau rekening di Swiss. Dalam soal "martabat bangsa", ia sosok yang berani mengatakan "tidak" di hadapan Barat. "Go to hell with your aid" adalah ungkapan terkenal Bung Karno pada Amerika yang mencoba menekan Indonesia melalui "diplomasi ekonomi".

Kebesaran Bung Karno, dalam rentang kesadaran rakyatnya, tak cuma bisa dipahami sebatas logika. Ia telah menelusuk jauh ke wilayah belief, sebuah penerimaan emosional atas dirinya. Bung Karno tak cuma legendaris, akan tetapi telah menjadi sosok yang seringkali dimaknai secara hyperreality: dimitoskan, dikultuskan, didewakan. Orang Bali meyakininya sebagai "titisan Dewa Wishnu", sementara orang Jawa melihatnya sebagai "sang Ratu Adil".

Dalam kosmologi seperti inilah, pantas jika proyek "de-Soekarno-isasi" dan kontrol idiologis atas seluruh ajaran-ajarannya-yang pernah digalang secara masif oleh penguasa orde baru-tak pernah efektif untuk mendikte kesadaran rakyat dari bayang-bayang besar seorang Soekarno.

Sosok Bung Karno makin relevan justru ketika ia coba dilupakan secara kolektif oleh bangsanya. Bung Karno menjadi icon penting dan berharga sebagai referensi untuk merakit kembali bangunan kebangsaan kita yang kini terlihat mulai goyah, setelah upaya melupakan Bung Karno dan kawan-kawan seperjuangannya nyata kian membuat bangsa ini kehilangan "jiwa merdeka".

Setelah 67 tahun merdeka, kita hampir tak melihat satupun pemimpin negara saat ini mampu berpikir dan bertindak seperti Bung Karno, justru ketika kemerdekaan dan harga diri sebagai bangsa telah diwariskan oleh Bung Karno dan rekan-rekan seperjuangannya sebagai modal utama berbangsa dan bernegara kita. Apakah generasi saat ini hanya sanggup mewarisi "abu", bukan "semangat" the founding fathers yang pernah mengguncang mata dunia itu?

Sebagai bangsa besar, kini kita hanya bisa menyaksikan sebuah generasi yang letih dan bingung. Kita semua pantas menjadi ragu, mampukah kita sebagai bangsa keluar dari himpitan krisis demi krisis dengan selamat?

Kita tentu tak berharap, berbagai kebijakan yang lahir dari rahim generasi pasca Soekarno tidak kembali berputar ke pendulum awal: "negara kekuasaan" (machstaat) dan "demokrasi semu" (pseudo democracy); sebuah praktik kekuasaan yang akan kembali membawa bangsa ini ke tubir kehinaan

0 comments:

Post a Comment