Tan Malaka dan Testamen Politik Soekarno
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu, adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karenatidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Setelah kami menyatakan kemerdekaan Indonesia atas dasar kemauan rakyat Indonesia sendiri pada 17 Agusut 1945 bersandar pada Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan hasrat rakyat untuk mendirikan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Maka negara Indonesia menghadapi bermacam-macam kesulitan dan rintangan yang hanya bisa diselesaikan oleh rakyat yang bersatu-padu serta gagah berani di bawah pimpinan yang cerdik, pandai, cakap dan tegap. Sedangkan sejarah dunia membuktikan pula, bahwa pelaksanaan cita-cita kemerdekaan itu bergantung pada kesanggupan seluruh rakyat untuk memberi korban apa pun juga, seperti sudah dibuktkan oleh negara-negara atau bangsa-bangsa yang besar di Amerika Utara dan Selatan, di Eropa Barat, di Rusia, Mesir, Turki dan Tiongkok.
Syahdan datanglah saatnya buat menentukan ke tangan siapa akan ditaruhkan obor kemerdekaan, seandainya kami tiada berdaya lagi akan meneruskan perjuangan kita di tengah-tengah rakyat sendiri.
Perjuangan rakyat kita seterusnya menetapkan kemerdekaannya hendaklah tetap di atas dasar persatuan segala golongan rakyat dengan menjunjung tinggi Republik Indonesia, seperti yang tercantum pokok-pokoknya dalam Undang-Undang Dasar kita.
Bahwasanya setelah selesai kami pikirkan dengan saksama dan periksa dengan teliti, pula dengan persetujuan penuh dengan para pemimpin yang ikut serta bertanggung-jawab. Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan perjuangan kemerdekaan kita akan diteruskan oleh saudara-saudara: Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir, Wongsonegoro.
Setiap raja biasanya memiliki stock wasiat, agar kerajaannya bisa langgeng, kata Hamlet. Wasiat, apalagi bersangkut dengan kerajaan, selalu berbentuk surat ataupun testamen. Bak kata sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, surat sebagai sarana suksesi sebetulnya telah dipergunakan Soekarno pada awal kemerdekaan.
Presiden RI pertama itu yang merasa kuatir keselamatannya setelah memproklamasikan kemerdekaan,17 Agustus 1945, merasa perlu menunjuk orang lain untuk memimpin kelanjutan perjuangan bangsa. Ia waswas kalau ditangkap oleh Sekutu. Orang yang dia percayai untuk menggantikannya adalah Tan Malaka. Rencana Soekarno untuk menunjuk seorang pemegang mandat pemimpin bangsa itu tidak disetujui oleh Moh Hatta. Hatta hanya dapat menerima bila mandataris tersebut terdiri dari beberapa orang.
Akhirnya disepakati oleh Soekarno dan Hatta orang-orang yang diberi kepercayaan tersebut adalah Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir dan Wongsonegoro.Testamen Politik 1945 merupakan surat mandat dari pimpinan nasional kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas kenegaraan. Testamen juga sempat mengundang kontroversi karena beredarnya versi yang berbeda. Dalam versi yang beredar kemudian, nama ahli waris kepemimpinan itu hanya satu orang yaitu Tan Malaka.
Surat itu berbunyi: “Kami, Ir Soekarno, ketua Republik Indonesia dan Drs Moh Hatta, ketua muda Pemerintah tersebut dengan suci dan ikhlas hati kami menyerahkan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia kepada Sdr Datuk Tan Malaka, pemegang surat ini”. Hatta menyebut Chaeroel Saleh sebagai roh jahat di balik pemalsuan dokumen itu. Ia dasarkan keterangannya itu pada hasil pemeriksaan dinas penyelidikan sipil dan militer Belanda (Hatta, 1974:13-14).
Menurut Sajoeti Melik, dokumen asli surat tersebut jatuh ke tangan DN Aidit. Aidit menunjukkannya kepada Soekarno. Soekarno merobek-robeknya lalu membakarnya. Dengan demikian berakhirlah kontroversi tentang Testamen Politik Soekarno tersebut. Meskipun Testamen Politik Soekarno 1 Oktober 1945 merupakan surat tugas kenegaraan yang diberikan oleh pimpinan nasional, namun paling sedikit terdapat perbedaan (atau persamaan?) menyangkut dua hal.
Dalam pembuatan Testamen Politik 1945 tidak ada paksaan. Bahkan penyusunannya dilakukan Soekarno secara demokratis dengan berkonsultasi dengan Bung Hatta. Testamen Politik 1945 telah dibakar oleh sendiri oleh Bung Karno agar tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Namun yang pasti, Tan Malaka si Putra Pandan Gadang nan fenomenal itu, pernah “dipercaya” sebagai putra mahkota bila suatu saat kelak pada masa itu, sang “raja dan wakilnya” tercederai. Hal ini setidaknya memberikan kepada kita, begitu signifikannya posisi hitoris Tan Malaka pada awal kemerdekaan Indonesia. Sayang, sejarah terkadang terasa “asin”.
Apakah juragan-juragan tau kalau Presiden Soekarno pernah mengusulkan perjuangan Revolusi yang ia lakukan akan diteruskan oleh Tan Malaka jika Ia dan Hatta sudah tidak mampu memimpin Revolusi. Berikut adalah salah satu kejadian yang sangat penting bagi Indonesia tetapi tidak pernah dituliskan didalam buku sejarah.
Pada malam 9 september 1945 terjadi sebuah pertemuan penting yang dihadiri Soekarno, Sayuti Melik dan Tan Malaka di sebuah rumah di daerah matraman yang sekarang menjadi apotik Titimurni yaitu rumah dokter Soeharto, dokter pribadi Soekarno.
Dipertemuan tersebut Soekarno ingin berbincang dengan Bapak Republik tersebut. Pertemuan tersebut membahas tentang nasib Revolusi Indonesia. Didalam perbicangan tersebut ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung karno yaitu”Belanda dengan menumpang sekutu, tidak lama lagi akan datang.” Pertemuan tersebut akhirnya berakhir. Beberapa hari kemudian Soekarno dan Tan bertemu lagi dan membahas tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung percakapan Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor kemerdekaan.
Beberapa hari kemudian Soekarno, Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri dan Gatot Taroenamihardjo bertemu di rumah Ahmad Soebardjo.Pada tanggal 30 september 1945 mereka sepakat menunjuk Tan Malaka sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada Soekarno-Hatta.
Kemudian setelah pertemuan tersebut, Soekarno menceritakan testamennya kepada Hatta. Hatta kemudian menolak hasil pertemuan dikarenakan kurang terkenalnya Tan Malaka dikalangan masyarakat dan karena Tan yang mewakili kalangan kiri dapat menyulut kontroversi karena PKI tidak menyukainya . Hatta mengusulkan agar tongkat revolusi diberikan kepada 4 kubu yang berbeda yaitu Tan Malaka dari kubu paling kiri, Sutan Sjahrir dari kubu kiri tengah, Wongsonegoro wakil kalangan kanan dan feudal dan Soekiman representasi kelompok Islam.
Kemudian Soekarno mengajak Soebardjo serta Tan dan Iwa untuk bertemu di rumah Soebardjo keesokan harinya. Hatta kemudian menyampaikan mengapa usulan Soekarno ditolak. Usul tersebut akhirnya diterima, Soekarno meminta Soebardjo mengetik Testamen yang sudah disusun kata-katanya oleh Tan. Testamen tersebut dibuat rangkap 3, 2 diberikan ke Soebardjo ditugasi untuk memberikan kepada Sjahrir dan Wongsonegoro dan yang satu lagi diberikan kepada Tan berserta teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik. Setelah diberikan Testamen dan teks proklamasi tersebut, Tan Malaka ditugaskan untuk keliling pulau jawa untuk memperkenalkan dirinya kepada rakyat.
Ditengah perjalan tugasnya untuk memperkenalkan diri kepada rakyat, Tan ditangkap di madiun pada tanggal 17 maret 1946. Ia ditangkap karena jalur yang diambil Tan untuk menghadapi Belanda lebih keras dan sering mengacau perundingan karena jalur yang diambil Perdana Menteri Sjahrir pada waktu itu lewat perundingan yang banyak merugikan rakyat Indonesia. Hal ini lah yang membuat Amir Syarifudin yang waktu itu menjabat sebagai Mentri pertahanan mengamankan Tan. Sekitar 2 tahun lebih Tan di penjara, ini masa penahanan yang lebih lama ketimbang ia ditahan oleh masa pendudukan Belanda di Indonesia.
Testamen berserta teks Proklamasi sempat dititipkan kepada Maruto yang waktu itu menjabat BPKNIP di Yogyakarta melalui kurir. Setelah Tan malaka dibebaskan, Maruto mengembalikan Tes€tamen dan naskah proklamasi tersebut kepada Tan Malaka. Selanjutnya Tan Malaka memutuskan untuk bergerilya ke jawa timur sekitar November 1948, Kemudian Soedirman memberikan surat pengatar dan satu regu pengawal. Surat dari soedirman itu di serahkan ke Panglima Divisi Jawa Timur Jendral Sungkono. Oleh Sungkono Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen, Malang Selatan.Tapi$ Tan memutuskan pergi ke Kediri. Disinilah perjuangan seorang Tan Malaka berakhir karena ia di eksekusi pada tanggal 21 februari 1949.
Setelah itu isu tentang testamen tersebut semakin menghilang. Sekitar tahun 1970 isu ini menghangat dan banyak opini-opini yang bermacama-macam. Kemudian munculah surat pembaca dari S.K Trimurti yaitu mantan istri Sayuti pada akhir oktober 1974 di harian Sinar Harapan. Trimurti menceritakan bahwa pada akhir tahun 1964 Syamsu Harya Udaya yang merupakan tokoh partai Murba yang didirikan Tan, itu mengaku menyimpan Testamen dan naskah proklamasi. Kemudian Trimurti bersama Syamsu menemui Aidit yang dikenal dekat dengan Presiden Soekarno. Soekarno mengundang ketiganya ke Istana Negara, kemudian Trimurti memberikan seluruh naskah. Kemudian Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya sementara teks proklamasi disimpannya.
0 comments:
Post a Comment