Home » , , , , , » Pemimpin Dunia Banyak Belajar Dari Pemikiran Bung Karno

Pemimpin Dunia Banyak Belajar Dari Pemikiran Bung Karno

Written By Gpnkoe on Thursday, April 25, 2013 | 11:08 AM

Sejauhmana pemikiran mereka relevan dengan dinamika masa kini?

Jika mengamati pikiran-pikiran Bung Karno, Bung Hatta dan sebagainya dalam kontek kolonialisme, neo kolonialisme atau neo imperalisme maka itu terjadi sampai sekarang. Ketajaman pikiran mereka masih relevan dalam kurun 50 sampai 100 tahun ke depan. Dalam beberapa kasus, pikiran-pikiran Bung Karno diterjemahkan oleh pejuang-pejuang di Amerika Latin, seperti Che Guevara malah yang paling akhir adalah Hugo Chaves banyak belajar dari pikiran-pikiran Bung Karno untuk menghadapi situasi internasional dengan neo imperalisme atau neo liberalismenya.

Di tingkat teoritis maka teori-teori ketergantungan di Amerika Latin yang lahir pasca modernisasi banyak terinspirasi dari pikiran-pikiran Soekarno yang menolak pemiskinan akibat politik struktural kekuatan imperialis. Nah, pikiran-pikiran ideologis dan visioner ini pada masa Or de Baru diamputasi dengan jargon: Politik No. Pembangunan Yes.

Bagaimana persepsi Anda terhadap jargon ter sebut?

Politik No itu diartikan sebagai deideologisasi termasuk pemikiran Soekarno, termasuk penataan sosial politik. Juga diartikan dengan korporitisasi yaitu sistem politik korporatif yang menggabungkan seluruh elemen masyarakat akan kesamaan fungsi, bukan kesamaan ideologi.

Dulu partai politik mempunyai underbow petani atau buruh, seperti Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia atau Partai Nasional Indonesia. Artinya kelompok masyarakat yang diikat secara ideologi tapi ketika diterapkan sistem politik korporatif hal itu sudah tidak ada lagi karena ikatannya berubah berdasarkan fungsi. Bagi kalangan buruh masuk di dalam SBSI atau SPSI sedang petani masuk dalam HTI, keberadannya diamputasi dari partai. Kemudian pegawai negeri masuk ke dalam Korpri. Artis bergabung dalam Artis Safari, itu proses-proses korporasisasi oleh negara. Garis ideologi kelompok-kelompok itu diputus. Jumlah partai dikurangi, dari multi partai menjadi tiga pada tahun 1971 dan kakinya diamputasi hanya sampai tingkat kabupaten/kota, di tingkat kecamatan dijadikan massa mengambang atau floating mass. Masyarakat tidak boleh berpartai. Sejak diberlakukan korporasi ideologi melalui sistem politik maka sejak itu masyarakat tidak lagi diajari masalah ideologi maupun politik.

Kekuatan apa lagi yang digunakan untuk memperkuat deideologi?

Saya membaca penguatan deideologi selanjutnya adalah penerapan dwi fungsi ABRI. Dalam konteks ini muncullah birokrat otoritarian. Fungsi partai kemudian digantikan oleh birokrasi untuk mengendalikan kekuatan partai. Apabila sebuah partai akan menggelar kongres maka harus mengajukan ijin di Kadit sospol atau Kakansospol dengan birokrasi yang sangat otoritarian. Selain melalui kontrol perijinan, mereka juga yang menentukan siapa yang berhak menjadi pengurus dan sebagainya. Kalau pengurus yang diajukan tidak sesuai dengan keinginan penguasa maka perijinannya tidak dikeluarkan.

Di Organisasi Kemasyarakatan juga begitu, ormas yang tadinya banyak kemudian disatukan dalam sebuah forum yang pengurusnya diproteksi. Dalam konteks ini muncul kelompok Cipayung sebagai reaksi dari korporatisasi. Cipayung menolak kemudian muncul sebagai entitas tersendiri. Kelompok Cipayung ini gabungan dari HMI, PMKRI,GMNI, GMKI dan PMII. Kelompok Cipayung sebetulnya berhadapan dengan kelompok bentukan pemerintah.

0 comments:

Post a Comment