Home » , , , , » Deideologi Membuat Kita Kehilangan Sumber Negarawan

Deideologi Membuat Kita Kehilangan Sumber Negarawan

Written By Gpnkoe on Thursday, April 25, 2013 | 11:09 AM

Bukankah pada rezim Suharto juga mengeksploitasi Pancasila? Bagaimana pembacaan Anda?

Memang pada waktu itu rezim Order Baru mengintervensi negara dengan memberlakukan azas tunggal Pancasila yang tafsirnya adalah tafsir penguasa. Kemudian di dalam teks pelajaran sekolah peran Soekarno mulai dihilangkan. Juga dilakukan pergantian nama-nama jalan dengan memunculkan beberapa nama jenderal. Proses deideologisasi itu mencakup korporasisasi, birokrasi otoritarian maupun menggelar program penataran P4 tentang Pancasila dengan tafsir pemerintah. Sedang penguat deideologi lainnya adalah dengan memunculkan ideologi pembangunanisme, yakni pembangunan dalam pola kapitalisme. Misalnya tentang tahap pertumbuhan tolok ukurnya adalah GNP dan sebagainya. Jadi terbaca adanya satu gerbong yang menarik rakyat Indonesia ke dalam arus yang berbeda dari proses-proses se belumnya.

Apa dampak deideologi pembangunanisme yang paling menyedihkan?

Yang menyedihkan adalah proses amputasi kekuatan ideologi yang dulu diperjuangkan oleh Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir yang digantikan dengan ideologi pembangunanisme sehingga masyarakat menjadi pragmatis. Cara berpikirnya pragmatis, orientasi hidupnya pragmatis. Ini akibat dari pembangunanisme di tingkat masyarakat Ketika ideologi itu masuk ke dalam kehidupan politik maka orientasi para ketua partai, ketua ormas juga berubah menjadi pragmatisme. Lihat saja bagaimana ormas dijadikan batu pijakan untuk mendapatkan proyek. Ormas dipakai untuk mendukung pejabat tertentu dan sebagainya. Jarang sekali ormas-ormas ini bergerak untuk suatu kajian atau perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan internasional yang sedang mencengkeram bangsa.

Itu yang membuat kita kehilangan sumber negarawan?

Tampaknya begitu. Akibat proses ini secara nasional kita kehilangan sumber daya negarawan. Kemudian lahirlah pemimpin-pemimpin pemerintahan yang berorientasi lebih banyak pada masalah administrasi pembangunan.

Dalam konteks fenomena sekarang apakah yang dikhawatirkan Bung Karno, Hatta, Syahrir atau Tjokro Aminoto sekarang sudah tidak ada kemudian menganggap dianggap pikiran-pikiran mereka tidak lagi relevan?

Saya menjawabnya, tidak. Yang terjadi adalah mutasi terhadap proses-proses kolonialisme. Oleh sebab itu pikiran-pikiran Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tjokro Aminoto itu sekarang masih relevan karena kenyataannya me mang ada. Jika mengamati upah buruh jaman Soekarno dengan masa kini jika dikonversi dengan harga beras, emas dan sebagainya memang sudah berubah. Itu menjadi penting untuk menegaskan apa kolonialisme itu masih ada atau tidak? Apakah masalah kemiskinan tidak muncul kembali? Katakanlah sekarang melakukan pembangunan jika bersandar pada ketentuan Bang Dunia atas orang miskin yang penghasilannya 2 dolar per hari maka sebanyak 50,1 persen penduduk Indonesia itu miskin. Lihat saja apakah harga-harga ke butuhan bahan pokok yang lain, seperti minyak dan gas bumi, tidak dikuasai asing?. Kalau dulu penguasaan asing itu hadir secara fisik. Orang kulit putih menguasai jabatan-jabatan politik dan mengekploitasi ekonomi .

Bagaimana pola dan wujud mereka sekarang menjajah tanah air?

Pola yang dilakukan sekarang menunjukkan fakta yang jauh lebih ekspansif dan vital. Misalnya minyak dan gas bumi, hampir 90 persen dikuasai asing. Sumber daya air 80 persen dikuasai asing. Coba bayang kan, mata air-mata air kita telah dalam penguasaan perorangan, juga tambang-tambang. Sektor pariwisata di Lombok (NTB) investornya juga asing. Sektor telekomunikasi didominasi asing, padahal pemakainya berapa ratus juta. Sehingga setiap kali kita SMS maka APBN yang naik itu adalah APBN negara-negara yang menguasai sektor tersebut. Begitu juga agroindustri juga dikuasai asing. Perbankan yang dananya sebesar Rp 3,6 triliyun lebih, separuhnya milik asing.

Yang menyedihkan lagi, menimpa ukir-ukiran Je para. Ada 400 varian desain ukiran yang dipatenkan oleh pengusaha Inggris. Juga ada kasus pertanian di Nganjuk, Jawa Timur, seorang petani ditangkap polisi dan dihukum tidak boleh menanam selama satu tahun karena menanam bibit jagung yang patennya milik pengusaha Amerika. Perusahaan ini memono poli bibit jagung yang wilayah operasionalnya di desa-desa.

Tanah air kita tampaknya sudah digadaikan secara telanjang oleh rezim penguasa kepada kapitalis. Apa sumber dari persoalan tersebut? Sumbernya ada pada Undang Undang. Seperti yang saya ungkapkan, bahwa dominasi politik bangsa Belanda dulu adalah kehadiran orang-orang kulit putih yang menguasai sumber kehidupan secara langsung, baik pertanian maupun asset-aset negara. Tetapi sekarang ke hadiran orang-orang asing itu tidak dalam bentuk konkrit seperti itu tapi berwujud konsultan asing maupun ekspatriat yang masuk ke lembaga-lembaga donor asing, masuk ke wilayah-wilayah di Indonesia secara legal formal juga masuk di pusat pemerintahan Jakarta. Mereka masuk bersamaan dengan pemberian hutang negara seraya mengirimkan staf ahli maupun harus beli teknologinya.

0 comments:

Post a Comment