Empat Misteri Kejayaan Indonesia Nusantara

Written By Gpnkoe on Thursday, May 9, 2013 | 6:28 AM

Saat ini, negeri kita Indonesia dianggap sebagai bangsa yang belum makmur,taraf kesejahteraan warganya rendah. Tingkat sumber daya manusia yang masih rendah, kita dilabeli sebagai bangsa yang masih tradisional dengan perkembangan teknologi yang belum maju. Sebagai sebuah bangsa yang dianugerahi dengan kekayaan alam yang melimpah, akal dan pikiran yang sama dengan bangsa lain seharusnya kita mampu menjadi bangsa yang besar, negeri makmur “ gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.” Berikut saya coba uraikan hal- hal yang masih dianggap mitos ataupun misteri, yang apabila diantaranya ternyata benar ataupun terjadi ( mudah-mudahan benar semua ) tujuan bersama menuju Indonesia adil makmur akan tercapai.

1. Indonesia Adalah Atlantis Yang Hilang

Peradaban Atlantis merupakan Mitos yang kali pertama dicetuskan Filsuf Yunani Kuno bernama Plato (427 – 347 SM) dalam bukunya Critias dan Timaeus. Dalam kedua buku tersebut menceritakan tentang sebuah daratan raksasa dengan peradaban yang menakjubkan pada masa lampau. Atlantis bukanlah khayalan Plato, hal itu diceritakan turun-temurun dan diamini oleh banyak tokoh di masanya.

Atlantis menghasilkan emas dan perak yang banyak, hingga istananya yang megah dikelilingi tembok dari emas dan perak. Daerahnya kaya sumber daya alam dan perkembangan peradabannya pesat, memiliki pelabuhan dan armada kapal lengkap, juga benda yang mampu membuat orang terbang. Kekuasaannya mencakup wilayah yang luas hingga Eropa dan Afrika. Setelah hanyut dilanda gempa dahsyat, wilayah itu menghilang dan terlupakan. Jika uraikan Plato nyata, maka ribuan tahun silam manusia telah menciptakan peradaban yang tinggi yang mungkin melebihi peradaban masa kini.

Hilangnya Peradaban Atlantis ribuan tahun, membuat banyak orang meneliti dan mencari keberadaan nya. Hingga banyak sekali versi dan cerita terungkapnnya Kota Atlantis, tetapi hingga kini hal itu belum ada yang terbukti nyata.

Menurut penelitian mutakhir Arsyso Santos selama 30 tahun, dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Foun, The Definitive Localization Of Plato’s Lost Civilization (2005) menegaskan bahwa Atlantis berada di wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah,cuaca,kekayaan alam,gunung berapi dan cara bertani di Indonesia. Menurutnya sistem terasisasi (berundak) sawah di Indonesia diadopsi dari Candi Borobudur, Piramida Mesir dan Kuil Aztec di Meksiko.

Wilayah Indonesia pada ribuan tahun silam merupakan suatu benua yang menyatu,tidak terpecah-pecah ribuan pulau seperti sekarang. Hal ini serupa dengan Atlantis yang merupakan sebuah benua dengan puluhan gunung berapi aktif dan dikeliling oleh 2 samudra yang menyatu (Orientale), yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Wilayahnya terbentang dari selatan India, Sri Langka, Sumatra, jawa, Kalimantan hingga ke arah timur dengan wilayah yang disebut Indonesia sekarang ini sebagai pusatnya.

Terjadi letusan secara hampir bersamaan berbagai gunung berapi masa itu di wilayah Atlantis seperti, letusan Gunung Meru di India Selatan, Gunung Sumeru di Jawa Timur, Gunung di Sumatera hingga terbentuk Danau Toba dan Letusan Gunung Krakatau yang membelah Sumatera dengan Jawa. Karena berbagai letusan tersebut, menyebabkan lapisan es di kutub mencair dan mengalir ke samudra hingga luasnya bertambah. Terjadi efek beruntun dengan terjadinya gempa dan tsunami yang berakibat terpendamnya sebagian besar wilayah Atlantis.

Indonesia dianggap sebagai Atlantis yang hilang, hal yang seharusnya membuat kita bersyukur. Pada masa Atlantis merupakan pusat peradaban dunia, negeri makmur dengan sumber daya melimpah. Pun membuat kita belajar sebagai daerah rawan bencana, dari sejarah dan dengan teknologi mutakhir berusaha membangun Indonesia baru.

2. Indonesia Kuburan Harta Karun

Banyak harta karun yang bertebaran di wilayah Indonesia, baik di daratan terlebih lagi di lautan. Sebelum Bangsa Eropa menguasai wilayah Nusantara abad ke 15, Indonesia merupakan daerah perdagangan yang ramai. Menghubungkan perdagangan India, Timur Tengah, Cina dan orang-orang Eropa.

Dalam masa itu tak terhitung kapal yang hilang dan karam di perairan Nusantara. Dalam beberapa catatan ratusan kapal Cina pengangkut harta dan keramik berharga hilang, 800 kapal Portugis hilang sejak 1650 dalam perjalanan ke Atlantik Selatan dan Asia Tenggara, lebih dari 7.000 hilang dalam catatan English East India Company (EIC) dan 105 kapal VOC Belanda hilang dalam pelayaran antara 1602-1794, kesemua kapal tersebut bermuatan barang-barang berharga.

Berbagai peninggalan tersebut sudah banyak ditemukan. Setelah terjadinya Tsunami Aceh, beberapa titik di perairan Mentawai Sumatera ditemukan harta karun dari kapal Cina dan kapal dagang VOC yang karam.

Harta karun senilai Rp. 720 Miliar berupa 250.000 benda keramik, Kristal, permata dan emas ditemukan di perairan Cirebon, Jawa Barat tahun 2005 oleh eksplorasi pihak asing . Namun barang tersebut akhirnya dilego pada kolektor di Singapura.

Di Pulau Onrust daerah Teluk Jakarta diindikasikan terdapat penyimpanan harta karun VOC Belanda. Hal ini berdasar keganjilan sejarah tentang VOC yang bangkrut secara mendadak , karena merupakan institusi dagang Belanda yang besar dan telah lama mengeruk kekayaan alam Indonesia. Konon jumlah harta di Pulau Onrust bisa untuk melunasi Utang Indonesia.

Harta Karun yang tak kalah banyak adalah peninggalan Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Dari kerajaan di Jawa seperti Singosari, Majapahit, Mataram, Pajajaran hingga Kerajaan di Sumatera , Kalimantan dan Daerah timur Indonesia menyimpan banyak sekali peninggalan harta karun. Menurut mitos harta karun tersebut tersimpan di alam gaib, tak bisa ditemukan dengan mudah. Harta-harta tersebut akan dapat ditemukan oleh “orang yang terpilih.” Telah banyak peninggalan dari kerajaan berupa perhiasan dan perlengkapan istana yang diketemukan tak sengaja, melalui penelitian ataupun orang yang memperoleh wangsit (petunjuk gaib).

Banyaknya harta yang terpendam di perairan dan daratan Nusantara selama ini belum dikelola baik oleh Pemerintah Indonesia, sayangnya lagi hal itu justru banyak menjadi incaran arkeolog dan pemburu harta karun untuk tujuan komersil pribadi.

3. Peninggalan Dana Revolusi Era Soekarno

Pada tahun 1906 terjadilah ikrar raja-raja nusantara yang di prakasai oleh Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi, Soetomo, Raden Adipati Tirtokoesoemo (presiden pertama Budi Utomo), Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat dan Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dalam ikrar tersebut ditumbuhkannya rasa nasionalisme “tanah air (Indonesia) diatas segala-galanya”. Pada saat itu seluruh raja-raja nusantara menyumbangkan sebagian asset mereka untuk membantu perjuangan. (Dana Perjuangan). Sebagian dana itu dipakai untuk biaya perjuangan dan sebagian lagi disimpan di luar negeri.

Dana perjuangan lebih dikenal dengan Dana Revolusi / Dana Amanah mulai dihimpun lagi pada masa setelah kemerdekaan, dana revolusi yang dihimpun berdasar perpu no.19 tahun 1960. Isinya antara lain, mewajibkan semua perusahaan negara menyetorkan lima persen dari keuntungannya pada pemerintah bagi Dana Revolusi. Yang disebut perusahaan negara itu, termasuk pula berbagai perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasikan, seperti perkebunan-perkebunan besar. Konon berjumlah ratusan juta dolar tersimpan di luar negeri.

Salah satu sumber Dana Revolusi terbesar adalah adanya "Perjanjian The Green Hilton Memorial Agreement Geneva" dibuat dan ditandatangani pada 21 November 1963 di hotel Hilton Geneva oleh Presiden AS John F Kennedy dan Presiden RI Ir Soekarno dengan saksi tokoh negara Swiss William Vouker. Perjanjian ini menyusul MoU diantara RI dan AS tiga tahun sebelumnya. Point penting perjanjian itu; Pemerintahan AS (selaku pihak I) mengakui 50 persen keberadaan emas murni batangan milik RI, yaitu sebanyak 57.150 ton dalam kemasan 17 paket emas dan pemerintah RI (selaku pihak II) menerima batangan emas itu dalam bentuk biaya sewa penggunaan kolateral dolar yang diperuntukkan pembangunan keuangan AS.

Dalam point penting lain pada dokumen perjanjian itu, tercantum klausul yang memuat perincian; atas penggunaan kolateral tersebut pemerintah AS harus membayar fee 2,5 persen setiap tahunnya sebagai biaya sewa kepada Indonesia, mulai berlaku jatuh tempo sejak 21 November 1965 (dua tahun setelah perjanjian). Account khusus akan dibuat untuk menampung asset pencairan fee tersebut. Maksudnya, walau point dalam perjanjian tersebut tanpa mencantumkan klausul pengembalian harta, namun ada butir pengakuan status koloteral tersebut yang bersifat sewa (leasing). Biaya yang ditetapkan dalam dalam perjanjian itu sebesar 2,5 persen setiap tahun bagi siapa atau bagi negara mana saja yang menggunakannya.

Biaya pembayaran sewa kolateral yang 2,5 persen ini dibayarkan pada sebuah account khusus atas nama The Heritage Foundation (The HEF) yang pencairannya hanya boleh dilakukan oleh Bung Karno sendiri atas persetujuan Sri Paus Vatikan. Sedang pelaksanaan operasionalnya dilakukan Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS). Kesepakatan ini berlaku dalam dua tahun ke depan sejak ditandatanganinya perjanjian tersebut, yakni pada 21 November 1965.

Sepenggal kalimat penting dalam perjanjian tersebut => ”Considering this statement, which was written andsigned in Novemver, 21th 1963 while the new certificate was valid in 1965 all the ownership, then the following total volumes were justobtained.” Perjanjian hitam di atas putih itu berkepala surat lambang Garuda bertinta emas di bagian atasnya dan berstempel ’The President of The United State of America’ dan ’Switzerland of Suisse’.

Berbagai otoritas moneter maupun kaum Monetarist, menilai perjanjian itu sebagai fondasi kolateral ekonomi perbankan dunia hingga kini. Ada pandangan khusus para ekonom, AS dapat menjadi negara kaya karena dijamin hartanya ’rakyat Indonesia’, yakni 57.150 ton emas murni milik para raja di Nusantara ini. Pandangan ini melahirkan opini kalau negara AS memang berutang banyak pada Indonesia, karena harta itu bukan punya pemerintah AS dan bukan punya negara Indonesia, melainkan harta raja-rajanya bangsa Indonesia.

Bagi Politikus AS sendiri, perjanjian The Green Hilton Agreement merupakan perjanjian paling tolol yang dilakukan pemerintah AS. Karena dalam perjanjian itu AS mengakui asset emas bangsa Indonesia. Sejarah ini berawal ketika 350 tahun Belanda menguasai Jawa dan sebagian besar Indonesia. Ketika itu para raja dan kalangan bangsawan, khususnya yang pro atau ’tunduk’ kepada Belanda lebih suka menyimpan harta kekayaannya dalam bentuk batangan emas di bank sentral milik kerajaan Belanda di Hindia Belanda, The Javache Bank (cikal bakal Bank Indonesia). Namun secara diam-diam para bankir The Javasche Bank (atas instruksi pemerintahnya) memboyong seluruh batangan emas milik para nasabahnya (para raja-raja dan bangsawan Nusantara) ke negerinya di Netherlands sana dengan dalih keamanannya akan lebih terjaga kalau disimpan di pusat kerajaan Belanda saat para nasabah mempertanyakan hal itu setelah belakangan hari ketahuan.

Waktu terus berjalan, lalu meletuslah Perang Dunia II di front Eropa, dimana kala itu wilayah kerajaan Belanda dicaplok pasukan Nazi Jerman. Militer Hitler dan pasukan SS Nazi-nya memboyong seluruh harta kekayaan Belanda ke Jerman. Sialnya, semua harta simpanan para raja di Nusantara yang tersimpan di bank sentral Belanda ikut digondol ke Jerman.

Perang Dunia II front Eropa berakhir dengan kekalahan Jerman di tangan pasukan Sekutu yang dipimpin AS. Oleh pasukan AS segenap harta jarahan SS Nazi pimpinan Adolf Hitler diangkut semua ke daratan AS, tanpa terkecuali harta milik raja-raja dan bangsawan di Nusantara yang sebelumnya disimpan pada bank sentral Belanda. Maka dengan modal harta tersebut, Amerika kembali membangun The Federal Reserve Bank (FED) yang hampir bangkrut karena dampak Perang Dunia II, oleh ’pemerintahnya’ The FED ditargetkan menjadi ujung tombak sistem kapitalisme AS dalam menguasai ekonomi dunia.

Belakangan kabar ’penjarahan’ emas batangan oleh pasukan AS untuk modal membangun kembali ekonomi AS yang sempat terpuruk pada Perang Dunia II itu didengar pula oleh Ir Soekarno selaku Presiden I RI yang langsung meresponnya lewat jalur rahasia diplomatic untuk memperoleh kembali harta karun itu dengan mengutus Dr Subandrio, Chaerul saleh dan Yusuf Muda Dalam walaupun peluang mendapatkan kembali hak sebagai pemilik harta tersebut sangat kecil. Pihak AS dan beberapa negara Sekutu saat itu selalu berdalih kalau Perang Dunia masuk dalam kategori Force Majeur yang artinya tidak ada kewajiban pengembalian harta tersebut oleh pihak pemenang perang.

Namun dengan kekuatan diplomasi Bung Karno akhirnya berhasil meyakinkan para petinggi AS dan Eropa kalau asset harta kekayaan yang diakuisisi Sekutu berasal dari Indonesia dan milik Rakyat Indonesia. Bung Karno menyodorkan fakta-fakta yang memastikan para ahli waris dari nasabah The Javache Bank selaku pemilik harta tersebut masih hidup !!

Nah, salah satu klausul dalam perjanjian The Green Hilton Agreement tersebut adalah membagi separoh separoh (50% & 50%) antara RI dan AS-Sekutu dengan ’bonus belakangan’ satelit Palapa dibagi gratis oleh AS kepada RI. Artinya, 50 persen (52.150 ton emas murni) dijadikan kolateral untuk membangun ekonomi AS dan beberapa negara eropa yang baru luluh lantak dihajar Nazi Jerman, sedang 50 persen lagi dijadikan sebagai kolateral yang membolehkan bagi siapapun dan negara manapun untuk menggunakan harta tersebut dengan sistem sewa (leasing) selama 41 tahun dengan biaya sewa per tahun sebesar 2,5 persen yang harus dibayarkan kepada RI melalui Ir.Soekarno. Kenapa hanya 2,5 persen ? Karena Bun Karno ingin menerapkan aturan zakat dalam Islam.

Pembayaran biaya sewa yang 2,5 persen itu harus dibayarkan pada sebuah account khusus a/n The Heritage Foundation (The HEF) dengan instrumentnya adalah lembaga-lembaga otoritas keuangan dunia (IMF, World Bank, The FED dan The Bank International of Sattlement/BIS). Kalau dihitung sejak 21 November 1965, maka jatuh tempo pembayaran biaya sewa yang harus dibayarkan kepada RI pada 21 November 2006. Berapa besarnya ? 102,5 persen dari nilai pokok yang banyaknya 57.150 ton emas murni + 1.428,75 ton emas murni = 58.578,75 ton emas murni yang harus dibayarkan para pengguna dana kolateral milik bangsa Indonesia ini.

Padahal, terhitung pada 21 November 2010, dana yang tertampung dalam The Heritage Foundation (The HEF) sudah tidak terhitung nilainya. Jika biaya sewa 2.5 per tahun ditetapkan dari total jumlah batangan emasnya 57.150 ton, maka selama 45 tahun X 2,5 persen = 112,5 persen atau lebih dari nilai pokok yang 57.150 ton emas itu, yaitu 64.293,75 ton emas murni yang harus dibayarkan pemerintah AS kepada RI. Jika harga 1 troy once emas (31,105 gram emas ) saat ini sekitar 1.500 dolar AS, berapa nilai sewa kolateral emas sebanyak itu ?? Hitung sendiri aja !!

Mengenai keberadaan account The HEF, tidak ada lembaga otoritas keuangan dunia manapun yang dapat mengakses rekening khusus ini, termasuk lembaga pajak. Karena keberadaannya yang sangat rahasia. Makanya, selain negara-negara di Eropa maupun AS yang memanfaatkan rekening The HEF ini, banyak taipan kelas dunia maupun ’penjahat ekonomi’ kelas paus dan hiu yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus ini agar terhindar dari pajak. Tercatat orang-orang seperti George Soros, Bill Gate, Donald Trump, Adnan Kasogi, Raja Yordania, Putra Mahkota Saudi Arabia, bangsawan Turko dan Maroko adalah termasuk orang-orang yang menitipkan kekayaannya pada rekening khusus tersebut.

Pada masa Pemerintahan Soeharto hingga Megawati telah diadakan suatu operasi untuk mengembalikan dana tersebut ke Indonesia. Bahkan para bankir hitam kelas dunia, CIA dan MOSSAD (agen rahasia Israel) berusaha keras untuk mendapatkan user account dan PIN The HEF tersebut, termasuk mencari tahu siapa yang diberi mandat Ir Soekarno terhadap account khusus itu. Namun usaha puhak-pihak yang mencoba mendapatkan harta tersebut belum menghasilkan, Ir Soekarno atau Bung Karno tidak pernah memberikan mandat kepada siapa pun. Artinya pemilik harta rakyat Indonesia itu tunggal, yakni atas nama Bung Karno sendiri. Sampai saat ini !!!

4. Akan Datangnya Ratu Adil

Menurut beberapa sumber yang diyakini mayarakat, menyebutkan akan adanya “Roda Cokro Manggilingan” (Penggulangan Sejarah) dan datangnya sosok pemimpin yang akan membawa Indonesia ke masa keemasannya. Diantaranya adalah bait syair Jayabaya, Serat Musarar Jayabaya, Ramalan Sabdo Palon Noyo Genggong, Serat Kalatidha R.Ng. Ronggowarsito, Serat Darmogandhul, Wangsit Siliwangi, dan hadist Nabi Muhammad SAW semuanya lengkap dalam konteks yang tersirat di dalamnya (lengkapnya di sini).

Dalam bab akhir Jangka Jayabaya, menyebutkan pasca goro-goro besar melanda planet bumi (antara lain terjadi kiamat bumi, perang besar, perang dunia, serangan jatuhnya benda angkasa, badai matahari, bencana alam terus-menerus) dan pulihnya jagad bumi manusia seperti sediakala menjadi normal kembali maka tatkala itulah akan tampil ke depan memimpin rakyat Nusantara, sang Ratu Adil sejati atau yang lebih popular disebut "satrio piningit" ataupun "satrio pinandito sinisihan wahyu". Sang pemimpin yang adil bijaksana ini akan didampingi titisan atau reinkarnasi terbaru Sabdo Palon, mereka berdua bersama memimpin kejayaan Nusantara dan bumi selatan yang berpenduduk bangsa kulit berwarna. Sedangkan bangsa kulit putih dan bangsa berkulit kuning bukan menjadi urusan beliau. Demikian garis besar ucapan Sabdo Palon tatkala muncul pertama kali setelah menghilang selama limaratus tahun sejak runtuhnya Majapahit. Sabdo Palon merupakan penasihat Jayabaya raja Kediri, dan kemudian menitis kembali menjadi penasihat Prabu Brawijaya V.

Ramalan ( Jangka) Joyoboyo berkenaan munculnya sang Ratu Adil juga sesuai menurut Uga Wangsit Prabu Siliwangi tentang pendamping Ratu Adil yakni pemuda berjanggut, dan juga sesuai ucapan Sabdo Palon, kedua pemimpin Nusantara tersebut adalah dwi-tunggal satu sama lain saling melengkapi dan tidak saling bertentangan. Tugas atau peran Sabdo Palon ialah mengadakan "fit and propher test" terhadap "Ratu Adil" satrio piningit. Sabdo Palon memang telah muncul akan tetapi Ratu Adil "Satrio Piningit" belum ada atau belum maju ke hadapan Sabdo Palon. Mengapa? Ratu Adil "Satrio Piningit" belum menerima wahyu Illahi atau pulung gaib wahyu keprabon karena memang belum tiba saat yang tepat. Kapan dan di mana keberadaan Sabdo Palon (yang tengah menghilang kembali) dan calon Ratu Adil "Satrio Piningit" memang belum ditemukan selama mereka belum muncul karena sebab besar atau goro-goro besar belum terjadi. Dalam teori revolusi mbah Karl Marx dan mbah Lenin, "seorang pemimpin akan selalu muncul dengan sendirinya tatkala segenap rakyat sudah siap dan matang untuk mengadakan revolusi." Pemimpin revolusi tidak akan mengumumkan kapan memulai suatu revolusi, rakyatlah yang merasa kehidupannya penuh derita tiada akhir dan negara tak peduli pada keadaan yang menyengsarakan bagi rakyat, sehingga pada akhirnya rakyat tidak lagi mempercayai negara. Tatkala itulah seorang pemimpin bakal tampil maju ke depan untuk memimpin rakyat yang sudah matang hendak mengadakan revolusi.

Inilah bait yang menggambarkan kemunculan Ratu Adil "satrio piningit" yang dilontarkan oleh Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo dari Kediri pada abad keduabelas masehi (1100-an) :
“ selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu, bakal ana dewa ngejawantah, apengawak manungsa.”

Kelak menjelang tutup tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu (1988 Saka atau 2066 Masehi). Akan muncul dewa turun ke bumi yang berwujud seorang manusia (Ratu Adil yang secara populer disebut "Satrio Piningit").

Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu, sosok dalam ramalan Ronggowarsito sebagai penyempurnaan daripada Ramalan Joyoboyo adalah manusia terpilih pengemban pulung gaib wahyu keprabon, dan kelak akan marak sebagai Ratu Adil yang diemong oleh Sabdo Palon.

Pemerintahan dalam tatanan dunia baru yang berpusat di salah satu pulau di Nusantara itu berbentuk kerajaan, tepatnya adalah kerajaan Jawa modern, ajaran lama yang diperbarui akan bergairah kembali, termasuk di dalamnya sifat-sifat kejawen yang telah direformasi sesuai dengan jamannya sangatlah dominan dalam ajaran tersebut.

Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan bahwa Imam Mahdi pasti datang di akhir zaman. Ia akan memimpin ummat Islam keluar dari kegelapan kezaliman dan kesewenang-wenangan menuju cahaya keadilan dan kejujuran yang menerangi dunia seluruhnya.

“Andaikan dunia tinggal sehari sungguh Allah akan panjangkan hari tersebut sehingga diutus padanya seorang lelaki dari ahli baitku namanya serupa namaku dan nama ayahnya serupa nama ayahku. Ia akan penuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” (HR abu Dawud 9435). Hadist ini memberikan kabar akan munculnya pemimpin di negeri Islam yang sedang bergolak. Sebagian kalangan muslim percaya akan muncul pemimpin baru Islam bermukjizat, dan menyebutnya Imam Mahdi ( Pemimpin yang terpilih). Ia akan menghantarkan rakyat meninggalkan babak era para penguasa diktator yang memaksakan kehendak dan mengabaikan kehendak Tuhan menuju babak tegaknya kembali kekhalifahan Islam yang mengikuti manhaj, sistem atau metode Kenabian. Lelaki itu keturunan Nabi Muhammad SAW, akan mengantarkan ummat Islam menuju babak Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah. Imam Mahdi akan berperan sebagai panglima di akhir zaman untuk memerangi para Mulkan Jabriyyan (Para Penguasa Diktator) yang telah lama bercokol di berbagai negeri-negeri di dunia.

Beberapa pendapat memparalelkan Imam Mahdi menurut Hadist Nabi Muhammad SAW dengan Ratu Adil versi Ramalan Jayabaya, dengan dalih bahwa Jayabaya telah memeluk Agama Islam dan mendapatkan petunjuk Illahiah sehingga dapat memaparkan ramalan-ramalan tersebut. Pendapat lain bahwa istilah Ratu Adil adalah hasil transfer bahasa dan makna dari dalam hadist oleh para wali (Sunan Bonang, Sunan Giri dan Sunan Kalijaga).

Terlepas dari semua uraian saya tentang Misteri Kejayaan Indonesia, tidaklah menjadikan kita menjadi orang yang percaya takhyul ( musyrik ) dan mengada-ada, karena semua ini berdasar penelitian dan sumber sejarah. Semoga hal ini mampu memacu semangat kita untuk berkarya, menjadikan Indonesia Berjaya !!
6:28 AM | 1 comments | Read More

Berserulah wahai anak negeri khatulistiwa

Terlahir dari negeri yang subur dan kaya akan sumber daya alam, bayi-bayi mungil yang baru menghirup udara segar di negeri kita Negara Kesatuan Republik Indonesia “menangis” karena sedih terlahir di masa negaranya yang belum bisa mencari uang sendiri, malahan terlahir sudah terbebani hutang 7,4 juta rupiah.
Seperti diketahui, Indonesia yang berpenduduk 237,6 juta jiwa harus memenuhi kebutuhan anggaran pembangunan dari utang yang sampai Januari 2012 telah mencapai 1.803 triliun rupiah. Dengan jumlah utang sebanyak itu, rata-rata penduduk Indonesia harus menanggung utang 7,4 juta rupiah per kapita. Hal inilah yang menjadi salah satu akar musabab kemiskinan di Indonesia. Selain itu ada beberapa hal berikut yang dianggap sebagai penguat tingkat kemiskinan di Indonesia :

1. Tingkat pendidikan yang rendah dan pengguasaan teknologi masih kurang
2. Produktivitas tenaga kerja & etos kerja rendah
3. Distribusi pendapatan yang timpang
4. Kultur / budaya
5. Politik & Jaminan hukum yang adil belum terjamin

kesemua faktor tersebut di atas saling mempengaruhi, dan sulit memastikan penyebab kemiskinan yang paling utama atau faktor mana yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung. Kesemua faktor tersebut merupakan VICIOIS CIRCLE (Lingkaran setan) dalam masalah timbulnya kemiskinan di Indonesia.
Namun tanpa terlepas dari semua faktor di atas, sesungguhnya dengan melimpahnya kekayaan Indonesia, bilalah selemahnya bangsa ini belum sanggup mengelolanya dengan “mengkontrakkan” saja sumber daya alam kita pada pihak lain dengan harga yang sesuai, tidaklah keadaan negera seperti saat ini. Berarti ada yang salah dari para pengelola negara ini. Trias Political yang menjadi tampu kekuasaan Indonesia telah telah ingkar akan amanat dalam tujuan negara ini menuju kesejahteraan yang adil.

1. Perubahan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 45 menuju kapilatisme
Melalui amandemen 2002, dinilai menjadi penyebab bangsa kurang mempunyai kemerdekaan, berdaulat, dan kurang memperoleh keadilan serta kemakmuran. Sistem ekonomi kerakyatan yang jelas keberpihakannya secara tersembunyi telah diganti sistem ekonomikapitalistik. Akibatnya dalam penjabaran melalui UU atau peraturan lain, dominasi kapitalisme tidak dapat dihindari. Akibatnya, kemajuan perekonomian cenderung dinikmati para pemilik kapital yang mayoritas investor asing, rakyat hanya menjadi pelengkap penderita dari sistem perekonomian kapitalistik tersebut.

2. Falsafah demokrasi di Indonesia semakin bergeser jauh dari nilai-nilai hikmat kebijaksanaan dalam konteks yang ideal. 
Permusyawaran digantikan voting, dan sistem perwakilan digantikan oleh pemilihan secara langsung. Dampaknya, representasi kekuatan modal menjadi ukuran bagi layak tidaknya seseorang dicalonkan sebagai pemimpin. Anomali ini terus berlangsung bukan dalam wajah demokrasi yang membawa kemakmuran rakyat, melainkan demokrasi yang menampilkan kuatnya pengaruh uang di dalam setiap rekrutmen jabatan publik. Di sisi lain, rakyat sebagai pemegang kedaulatan hanya menjadi objek semata. Bahkan rakyat semakin terpinggirkan dalam potret kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan.

3. Tindak kekerasan, praktik korupsi, penegakan hukum, serta pelanggaran HAM. Kecederungan negara yang melakukan pembiaran atas berbagai tindak kekerasan. Kekerasan kian merebak dengan intensitas dan eskalasi yang semakin meluas. Hal itu menggambarkan betapa sulitnya untuk mendapat rasa aman. Rakyat berhadapan dengan rakyat, rakyat berhadapan dengan penegak hukum, dan rakyat berhadapan dengan penguasa, dan para pihak yang hanya mencari keuntungan. Tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama pun semakin sering terjadi dan dengan mudah mereka mengatakan “selamat tinggal kebhinekaan Indonesia.” Rakyat yang ingin bertahan hidup harus berhadapan dengan undang-undang negara yang mengijinkan pengerukan berbagai sumber daya Indonesia pada pihak asing tanpa imbal balik yang sesuai bagi kesejahteraan rakyat.

Lalu apakah yang harus kita lakukan agar bayi – bayi yang akan lahir di negeri ini tidak “menangis histeris” melihat kondisi negaranya. Banyaknya sistem dan peraturan yang tidak amanah pada kesejahteraan rakyat harus dapat dirubah dari dalam institusi tersebut. Hal ini membutuhkan tekad yang kuat dan diperlukan pemimpin tegas dan amanah di belakangnya. Namun hal ini sulit terjadi pada saat ini, kekuatan dari dalam pengelola negeri ini masih dalam lingkaran setan yang sulit dirombak. Dibutuhkan energi dari luar, elemen kekuatan baru yang tidak terkait dari orde penguasa lama, amanah dan tegas untuk dapat merubah kondisi bangsa ini.

Berserulah wahai anak negeri khatulistiwa
Putra – putri yang ibunya sedang berbaring lemah tergadai
Diam jangan membuat kerusakan jikalau engkau tak mampu melawan
Lacur..mereka yang telah menjual isi perut ibunya dengan murah, khianati saudara sedarah
Tunggulah sambil bersiap menyambut cahaya baru, wahai saudaraku
Jangan diam ketika mendengar jeritan bayi – bayi naas anak negeri
Aku, kamu, dia, mereka bisa membuat perubahan nyata
Tunggu…tunggu sambil bersiap kita akan berjaya
6:20 AM | 0 comments | Read More

Cita-cita Bungkarno menjadikan Indonesia Super

Cita-cita Soekarno untuk menjadikan NKRI sebagai “Kekuatan Asia”, mendorong beliau untuk membuat blue print perencanaan pembangunan Indonesia di masa pemerintahannya. Dalam pemikirannya kelak dikemudian waktu, Asia Pasifik akan jadi pusat dunia paling maju, paling kaya dan paling fenomenal dalam perjalanan sejarah peradaban modern manusia.

Bung Karno mencetuskan sebuah konsep perencanaan sebagai jawaban terhadap situasi sosial masa tersebut. Soekarno menerapkan model perencanaan berupa Nation Character Building. Character Building dalam persepsi beliau bermakna upaya untuk membangkitkan kebanggaan dan kecintaan terhadap bangsa sendiri dengan cara menggenjot pembangunan secara fisik. Tiga prioritas utama dalam kerangka Character building ialah pembangunan manusia, ekonomi dan fisik. Soekarno memilih geopolitik sebagai tahapan awal pembentukan sebuah bangsa, geopolitik sebagai alat modal kekayaan wilayah serta menjadikan geopolitik sekaligus sebagai modal sosial dalam membentuk perubahan total terhadap sejarah perkembangan masyarakat.

Visi Sukarno, di tahun 1975 Indonesia akan jadi bangsa terkuat di Asia dan menjadi salah satu negara adikuasa dunia dalam konteks the big five. Amerika Serikat, Inggris, Sovjet Uni dan Jepang. Jepang dan Cina menurut Sukarno masih bisa dibawah Indonesia. Dan Indonesia jadi negara terkuat di Asia memimpin tiga zona wilayah meliputi Asia Tenggara, Asia Selatan dan Asia Timur. Berikut adalah beberapa rencana-rencana Soekarno :

1. Menjadikan Palangkaraya sebagai Ibukota Negara

Awalnya Semaun yang membawa saran tentang perpindahan ibukota, Semaun adalah konseptor besar atas tatanan ruang kota-kota satelit Sovjet Uni di wilayah Asia Tengah. Hal ini kemudian disambut antusias oleh Bung Karno, selama 1 tahun penuh Bung Karno mempelajari soal Kalimantan ini, ia berkesimpulan "masa depan dunia adalah pangan, sumber minyak dan air. Pertahanan militer bertumpu pada kekuatan Angkatan Udara."

Lalu pada satu malam di hadapan beberapa orang Bung Karno dengan intuisinya mengambil mangkok putih di depan peta besar Kalimantan, ia menaruh mangkok itu ke tengah-tengah peta, kemudian Sukarno berkata dengan mata tajam ke arah yang mendengarnya "Itu Ibukota RI," Bung Karno menunjuk satu peta di tepi sungai Kahayan. Lalu Bung Karno ke tepi Sungai Kahayan dan melihat sebuah pasar yang bernama Pasar Pahandut, dari Pasar inilah Bung Karno mengatakan "Ibukota RI dimulai dari sini" ini sama persis dengan ucapan Daendels di depan Asisten Bupati Sumedang saat membangun jalan darat Pos Selatan untuk gudang arsenal Hindia-Perancis, ketika itu ia menunjuk satu tempat yang kita kenal sekarang sebagai Bandung "Bandung jadi titik nol wilayah pertahanan Jawa."

Bundaran Besar Palangkaraya
Pembangunan Jalan Palangkaraya dibuat lurus-lurus dan menuju satu bunderan besar, dimaksudkan bila terjadi perang Inggris terjadi maka jalan-jalan itu diperlebar sampai empat belas jalur untuk pendaratan pesawat tempur Mig21 yang diborong dari Uni Sovjet. Pangdam Kaltim di pertengahan tahun 1960-an Brigjen Hario Ketjik adalah salah satu fanatik Sukarnois yang menerapkan rencana ini di Kalimantan Timur. Pembangunan tata ruang kota Palangkaraya diatur amat teliti, sampai sekarang tata ruang kota Palangkaraya paling rapi di Indonesia.

2. Perencanaan Pertahanan Nasional

Bung Karno membagi kekuatan pertahanan nasional dalam dua garis besar : Pertahanan Laut di Indonesia Timur dengan Biak menjadi pusat armada-nya (ini sesuai dengan garis geopolitik Douglas MacArthur) dan Pertahanan Udara di Kalimantan. Sedangkan Bandung menjadi pusat Militer Angkatan Darat.

Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19 ,20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.

Berkat kedekatan Indonesia dengan Sovyet, maka Indonesia mendapatkan bantuan besar-besaran kekuatan armada laut dan udara militer termaju di dunia dengan nilai raksasa, US$ 2.5 milyar. Saat itu, kekuatan militer Indonesia menjadi yang terkuat di seluruh belahan bumi selatan.

Kekuatan utama Indonesia di saat Trikora itu adalah salah satu kapal perang terbesar dan tercepat di dunia buatan Sovyet dari kelas Sverdlov, dengan 12 meriam raksasa kaliber 6 inchi. Ini adalah KRI Irian, dengan bobot raksasa 16.640 ton dengan awak sebesar 1270 orang termasuk 60 perwira. Sovyet tidak pernah sekalipun memberikan kapal sekuat ini pada bangsa lain manapun, kecuali Indonesia.

3. Rancangan Tata Ruang Negara

Bung Karno menyusun dasar-dasar kota administrasi provinsi dengan dibantu eks Gubernur Jawa Timur RTA Milono, pada saat penyusunan birokrasi itu Bung Karno sedang menyiapkan cetak biru besar tentang rancangan tata ruang negara dari Sabang Sampai merauke. Antara Pulau Sumatera-Jawa dan Bali akan dibangun terowongan bawah tanah, karena rawan gempa Bung Karno meningkatkan armada pelabuhan antar pulau dipesan kapalnya dari Polandia. Tapi rencana membuat channel seperti di selat Inggris tetap diprioritaskan bahkan menjelang kejatuhannya di tahun 1966 ia bercerita tentang channel bawah tanah yang menghubungkan Pulau Sumatera-Jawa dan Bali

Pusat pelabuhan dagang bukan diletakkan di Jawa, tapi di sepanjang pesisir Sumatera Utara- Kalimantan-Sulawesi, Sukarno mempersiapkan rangkaian pelabuhan yang ia sebut sebagai "Zona Tapal Kuda". Wilayah Jawa dan Bali dijadikan pusat lumbung pangan. Kota-kota baru dibangun, pilot project-nya adalah Palangkaraya dan Sampit, setelah itu Jakarta juga dibangun untuk display ruang atau model kota modern. Jakarta tetap dijadikan pusat kota jasa Internasional sementara Palangkaraya menjadi pusat pemerintahan dan pertahanam militer udara.
6:17 AM | 0 comments | Read More

Banyak Pemimpin Tapi Kualitasnya Politisi

Written By Gpnkoe on Thursday, April 25, 2013 | 11:13 AM

Banyak Pemimpin Tapi Kualitasnya Politisi

Jaman boleh berubah, kepala negara berganti berkali-berkali namun problema negara ini tetap sama, terjajah oleh kekuatan asing. Pada masa Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir dan para pejuang kemerdekaan dahulu berupaya sekuat tenaga mengusir penjajah dari bumi Indonesia dan berhasil.

Ironisnya, oleh penerusnya justru “digadaikan” kepada negara lain. Kekuatan penjajah tampaknya hanya berubah wajah, metamorfose, tapi inti kerakusannya tetap sama, yakni menggerogoti kekayaan Indonesia.

Bambang Budiono, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Airlangga Surabaya yang menggerakkan Pusat Studi Hak Azasi Manusia (Pusham)Unair mengudar pengamatannya terhadap masalah kebangsaan yang tengah ramai diperbincangkan. Cahyo Sudarso bersama Rokimdakas dari Indiependen menemui sosok nasionalis ini di sekretariat Pusham Unair, Jl. Karang Menur 4/14 Surabaya. Berikut penuturannya :

Memperlajari kiprah Tjokro Aminoto, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir mau pun tokoh-tokoh pejuang terdahulu, apa sekarang kita masih bisa berharap bisa menemukan negarawan?

Selain Gus Dur (Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4, red) memang sekarang ini kita kehilangan negarawan, banyak pemimpin tapi kualitasnya masih politisi, levelnya hanya pemimpin parpol. Orang-orang yang dianggap pemimpin sekarang sebetulnya hanya kepala pemerintahan, jadi belum bisa disebut pemimpin bangsa. Kalau dulu banyak kita temukan pemimpin bangsa, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir dan seangkatannya. Sesudah itu kita lebih banyak ke temu dengan kepala pe merintahan.

Tolok ukurnya bagaimana?

Itu bisa dilihat dari visi atau pidato-pidato yang disampaikan lebih banyak mengutarakan tentang hasil pembangunan, soal teknik dan bukan tentang visi bangsa ke depan. Bukan bagaimana peta nasional kita di tengah dinamika internasional. Lalu tentang sikap-sikap sebagai bangsa yang harus dilakukan menjadi garis ideologi bangsa dan ne gara kita, itu jarang sekali diwacanakan. Apalagi pasca reformasi.

Jika boleh menunjuk sosok yang menyebabkan kondisi bangsa seperti ini karena sistem politik yang dikembangkan Soeharto. Pendapat Anda?

Pada masa pemerintahan Soeharto memang terjadi proses deideologisasi. Sebelumnya lebih banyak menangani positioning bangsa terhadap situasi internasional. Para pemimpin bangsa waktu itu dengan sangat jelas memaparkan bahwa pertarungan internasonal adalah pertarungan kapitalisme, ekspansi kolonialisme dan perebutan wilayah idelogi di berbagai negara antara komunis dan kapitalis.

Itu yang kemudian turun dalam bentuk kolonialisme di Indonesia lalu menjadi tantangan perjuangan yang kemudian juga berhasil mengkonsolidasi gerakangerakan perlawanan yang dimotori oleh figur-figur yang kekuatan intelektualnya bagus serta visi kebangsaannya kuat sehingga pemikiran-pemikiran mereka itu ideologis dan visioner. Mereka melihat masalah kebangsaan itu jauh ke depan.
11:13 AM | 0 comments | Read More

Bung Karno Hanya Diambil Figur dan Simbol Saja

Apa target dari modus seperti itu?

Satu, pilot project, sedang yang kedua adalah memasukkan draft undang-undang melalui kementrian-kementrian. Kalau dulu hadir secara fisik sekarang pun sama saja tapi dengan tampilan berbeda, yaitu konsultan. Misalnya di bidang energi, mereka datang ke Kementrian Energi sambil membawa draft undang-undang. Jadi, mereka memberi hutang sambil menyodorkan tenaga ahli ahli teknik dan ahli kelembagaan yang siap mengubah undang-undang kita. Dalam membuat draf UU biasanya melibatkan staf ahli lokal dengan target penguasaan hak paten pangan, kerajinan dan macam-macam. Jadi banyak UU yang mereka kuasai, seperti UU kelistrikan, sumber daya air maupun perburuhan.

Menurut pengamatan Anda, apa yang terjadi di balik proses amandemen Undang Undang Dasar kita?

Data penguasaan di banyak sektor tersebut merupakan fakta dari eksploitasi ekonomi akibat dominasi politik melalui undang-undang, termasuk dalam perubahan Undang Undang Dasar. Dalam pasal 33 ayat 4 UUD Amandemen terdapat kata “Efisiensi Berkeadilan”. Kata efisiensi itu jelas bukan untuk mengatur negara tapi perusahaan atau korporasi, ini bahasa kapitalisme. Kata “berkeadilan” itu hasil perjuangannya Eddy Swasono, menantu Bung Hatta. Awalnya hanya kata “efisiensi” saja. Itulah pertarungan antara intelektual nasionalis melawan intelektual kapitalis liberal yang kemudian memenangkan dalam pengubahan konstitusi kita. Maka yang marah besar adalah Prof. Mubyarto, dia menyatakan mundur dari tim amandemen karena menolak Pasal 33 diotak-atik. Terjadinya amandemen UUD 1945 itu akibat ulah para intelektual liberal yang mendesakkan pengubahan UUD kita. Munculnya kelompok intelektual liberal itu merupakan produk beasiswa. Jadi pemberian beasiswa itu merupakan bentuk-bentuk kerja deideologisasi. Bukan gratis.

Lalu siapa yang menyetujui UU Out sourcing yang sekarang menyengsarakan buruh?

Yang menyedihkan, munculnya UU outsorching itu justru dari tangan Megawati saat menjadi presiden. Menyedihkan karena dia memproklamirkan diri sebagai pimpinan partainya wong cilik tapi malah menanda tangani UU Outsorcing. Itu karena adanya kekuatan internasional yang masuk bersama hutang. Jadi kalau kita lagi-lagi bertanya, apakah pikiran Bung Karno, Bung Hatta dan tokoh-tokoh kita terdahulu masih relevan, maka jawabannya adalah relevan. Karena kolonialisme telah kembali mencengkeram dengan menggunakan bentuk yang baru.

Sebagai spirit kebangsaan, ungkapan Anda tersebut apa bisa diartikan bahwa kita perlu kembali kepada ajaran Bung Karno?

Kembali kepada ajaran Bung Karno akan menjadi ahistoris jika saja mentalitas kader-kader bangsa masih pragmatis. Lihat saja tokoh-tokoh ormas tidak melakukan perlawanan terhadap arus globalisasi yang masuk ke Indonesia menjadi neo imperalisme, neo liberalism. Kalau itu diwacanakan secara minimal maka jadi tidak relevan, artinya Bung Karno hanya diambil figurnya, diambil simbolnya tapi tidak menerapkan ajarannya.

Apa artinya orang ramai membica rakan Bung Karno?

Bisa jadi orang-orang yang menghidup-hidupkan Bung Karno, Bung Hatta atau tokoh lainnya hanyalah pengagum tapi bukan murid. Kalau murid Bung Karno pasti akan melakukan pemetaan terhadap kehidupan global agar bisa menghadapi kekuatan imperalisme.
11:11 AM | 1 comments | Read More

Deideologi Membuat Kita Kehilangan Sumber Negarawan

Bukankah pada rezim Suharto juga mengeksploitasi Pancasila? Bagaimana pembacaan Anda?

Memang pada waktu itu rezim Order Baru mengintervensi negara dengan memberlakukan azas tunggal Pancasila yang tafsirnya adalah tafsir penguasa. Kemudian di dalam teks pelajaran sekolah peran Soekarno mulai dihilangkan. Juga dilakukan pergantian nama-nama jalan dengan memunculkan beberapa nama jenderal. Proses deideologisasi itu mencakup korporasisasi, birokrasi otoritarian maupun menggelar program penataran P4 tentang Pancasila dengan tafsir pemerintah. Sedang penguat deideologi lainnya adalah dengan memunculkan ideologi pembangunanisme, yakni pembangunan dalam pola kapitalisme. Misalnya tentang tahap pertumbuhan tolok ukurnya adalah GNP dan sebagainya. Jadi terbaca adanya satu gerbong yang menarik rakyat Indonesia ke dalam arus yang berbeda dari proses-proses se belumnya.

Apa dampak deideologi pembangunanisme yang paling menyedihkan?

Yang menyedihkan adalah proses amputasi kekuatan ideologi yang dulu diperjuangkan oleh Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir yang digantikan dengan ideologi pembangunanisme sehingga masyarakat menjadi pragmatis. Cara berpikirnya pragmatis, orientasi hidupnya pragmatis. Ini akibat dari pembangunanisme di tingkat masyarakat Ketika ideologi itu masuk ke dalam kehidupan politik maka orientasi para ketua partai, ketua ormas juga berubah menjadi pragmatisme. Lihat saja bagaimana ormas dijadikan batu pijakan untuk mendapatkan proyek. Ormas dipakai untuk mendukung pejabat tertentu dan sebagainya. Jarang sekali ormas-ormas ini bergerak untuk suatu kajian atau perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan internasional yang sedang mencengkeram bangsa.

Itu yang membuat kita kehilangan sumber negarawan?

Tampaknya begitu. Akibat proses ini secara nasional kita kehilangan sumber daya negarawan. Kemudian lahirlah pemimpin-pemimpin pemerintahan yang berorientasi lebih banyak pada masalah administrasi pembangunan.

Dalam konteks fenomena sekarang apakah yang dikhawatirkan Bung Karno, Hatta, Syahrir atau Tjokro Aminoto sekarang sudah tidak ada kemudian menganggap dianggap pikiran-pikiran mereka tidak lagi relevan?

Saya menjawabnya, tidak. Yang terjadi adalah mutasi terhadap proses-proses kolonialisme. Oleh sebab itu pikiran-pikiran Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tjokro Aminoto itu sekarang masih relevan karena kenyataannya me mang ada. Jika mengamati upah buruh jaman Soekarno dengan masa kini jika dikonversi dengan harga beras, emas dan sebagainya memang sudah berubah. Itu menjadi penting untuk menegaskan apa kolonialisme itu masih ada atau tidak? Apakah masalah kemiskinan tidak muncul kembali? Katakanlah sekarang melakukan pembangunan jika bersandar pada ketentuan Bang Dunia atas orang miskin yang penghasilannya 2 dolar per hari maka sebanyak 50,1 persen penduduk Indonesia itu miskin. Lihat saja apakah harga-harga ke butuhan bahan pokok yang lain, seperti minyak dan gas bumi, tidak dikuasai asing?. Kalau dulu penguasaan asing itu hadir secara fisik. Orang kulit putih menguasai jabatan-jabatan politik dan mengekploitasi ekonomi .

Bagaimana pola dan wujud mereka sekarang menjajah tanah air?

Pola yang dilakukan sekarang menunjukkan fakta yang jauh lebih ekspansif dan vital. Misalnya minyak dan gas bumi, hampir 90 persen dikuasai asing. Sumber daya air 80 persen dikuasai asing. Coba bayang kan, mata air-mata air kita telah dalam penguasaan perorangan, juga tambang-tambang. Sektor pariwisata di Lombok (NTB) investornya juga asing. Sektor telekomunikasi didominasi asing, padahal pemakainya berapa ratus juta. Sehingga setiap kali kita SMS maka APBN yang naik itu adalah APBN negara-negara yang menguasai sektor tersebut. Begitu juga agroindustri juga dikuasai asing. Perbankan yang dananya sebesar Rp 3,6 triliyun lebih, separuhnya milik asing.

Yang menyedihkan lagi, menimpa ukir-ukiran Je para. Ada 400 varian desain ukiran yang dipatenkan oleh pengusaha Inggris. Juga ada kasus pertanian di Nganjuk, Jawa Timur, seorang petani ditangkap polisi dan dihukum tidak boleh menanam selama satu tahun karena menanam bibit jagung yang patennya milik pengusaha Amerika. Perusahaan ini memono poli bibit jagung yang wilayah operasionalnya di desa-desa.

Tanah air kita tampaknya sudah digadaikan secara telanjang oleh rezim penguasa kepada kapitalis. Apa sumber dari persoalan tersebut? Sumbernya ada pada Undang Undang. Seperti yang saya ungkapkan, bahwa dominasi politik bangsa Belanda dulu adalah kehadiran orang-orang kulit putih yang menguasai sumber kehidupan secara langsung, baik pertanian maupun asset-aset negara. Tetapi sekarang ke hadiran orang-orang asing itu tidak dalam bentuk konkrit seperti itu tapi berwujud konsultan asing maupun ekspatriat yang masuk ke lembaga-lembaga donor asing, masuk ke wilayah-wilayah di Indonesia secara legal formal juga masuk di pusat pemerintahan Jakarta. Mereka masuk bersamaan dengan pemberian hutang negara seraya mengirimkan staf ahli maupun harus beli teknologinya.
11:09 AM | 0 comments | Read More

Pemimpin Dunia Banyak Belajar Dari Pemikiran Bung Karno

Sejauhmana pemikiran mereka relevan dengan dinamika masa kini?

Jika mengamati pikiran-pikiran Bung Karno, Bung Hatta dan sebagainya dalam kontek kolonialisme, neo kolonialisme atau neo imperalisme maka itu terjadi sampai sekarang. Ketajaman pikiran mereka masih relevan dalam kurun 50 sampai 100 tahun ke depan. Dalam beberapa kasus, pikiran-pikiran Bung Karno diterjemahkan oleh pejuang-pejuang di Amerika Latin, seperti Che Guevara malah yang paling akhir adalah Hugo Chaves banyak belajar dari pikiran-pikiran Bung Karno untuk menghadapi situasi internasional dengan neo imperalisme atau neo liberalismenya.

Di tingkat teoritis maka teori-teori ketergantungan di Amerika Latin yang lahir pasca modernisasi banyak terinspirasi dari pikiran-pikiran Soekarno yang menolak pemiskinan akibat politik struktural kekuatan imperialis. Nah, pikiran-pikiran ideologis dan visioner ini pada masa Or de Baru diamputasi dengan jargon: Politik No. Pembangunan Yes.

Bagaimana persepsi Anda terhadap jargon ter sebut?

Politik No itu diartikan sebagai deideologisasi termasuk pemikiran Soekarno, termasuk penataan sosial politik. Juga diartikan dengan korporitisasi yaitu sistem politik korporatif yang menggabungkan seluruh elemen masyarakat akan kesamaan fungsi, bukan kesamaan ideologi.

Dulu partai politik mempunyai underbow petani atau buruh, seperti Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia atau Partai Nasional Indonesia. Artinya kelompok masyarakat yang diikat secara ideologi tapi ketika diterapkan sistem politik korporatif hal itu sudah tidak ada lagi karena ikatannya berubah berdasarkan fungsi. Bagi kalangan buruh masuk di dalam SBSI atau SPSI sedang petani masuk dalam HTI, keberadannya diamputasi dari partai. Kemudian pegawai negeri masuk ke dalam Korpri. Artis bergabung dalam Artis Safari, itu proses-proses korporasisasi oleh negara. Garis ideologi kelompok-kelompok itu diputus. Jumlah partai dikurangi, dari multi partai menjadi tiga pada tahun 1971 dan kakinya diamputasi hanya sampai tingkat kabupaten/kota, di tingkat kecamatan dijadikan massa mengambang atau floating mass. Masyarakat tidak boleh berpartai. Sejak diberlakukan korporasi ideologi melalui sistem politik maka sejak itu masyarakat tidak lagi diajari masalah ideologi maupun politik.

Kekuatan apa lagi yang digunakan untuk memperkuat deideologi?

Saya membaca penguatan deideologi selanjutnya adalah penerapan dwi fungsi ABRI. Dalam konteks ini muncullah birokrat otoritarian. Fungsi partai kemudian digantikan oleh birokrasi untuk mengendalikan kekuatan partai. Apabila sebuah partai akan menggelar kongres maka harus mengajukan ijin di Kadit sospol atau Kakansospol dengan birokrasi yang sangat otoritarian. Selain melalui kontrol perijinan, mereka juga yang menentukan siapa yang berhak menjadi pengurus dan sebagainya. Kalau pengurus yang diajukan tidak sesuai dengan keinginan penguasa maka perijinannya tidak dikeluarkan.

Di Organisasi Kemasyarakatan juga begitu, ormas yang tadinya banyak kemudian disatukan dalam sebuah forum yang pengurusnya diproteksi. Dalam konteks ini muncul kelompok Cipayung sebagai reaksi dari korporatisasi. Cipayung menolak kemudian muncul sebagai entitas tersendiri. Kelompok Cipayung ini gabungan dari HMI, PMKRI,GMNI, GMKI dan PMII. Kelompok Cipayung sebetulnya berhadapan dengan kelompok bentukan pemerintah.
11:08 AM | 0 comments | Read More

Kebijakan di bidang Ekonomi pada masa Soekarno

Kebijakan di bidang Ekonomi pada masa Soekarno yaitu diterapkannya Sistem benteng, dimana sistem ini lebih dikenal sebagai sistem ekonomi Ali (Pribumi) & Baba (Tionghoa). Sebenarnya sistem ekonomi ini lebih menguntungkan buat etnis tionghoa, akan tetapi karena banyaknya kasus korupsi yang terjadi pada saat itu dan berganti-gantinya kabinet membuat sistem ini kemudian dihentikan pada tahun 1954 .

Kebijakan ekonomi Ali-Baba timbul akibat adanya ketakutan yang dialami oleh presiden Soekarno, yang pada masa itu kehidupan ekonomi Indonesia hampir seluruhnya dikuasai oleh orang Tionghoa. Penguasaan orang-orang Tionghoa terhadap sendi-sendi perekonomian nasional membuat Soekarno berfikir untuk mengandeng dan merangkul Etnis Tionghoa agar bekerjasama dan memunculkan pengusaha-pengusaha pribumi agar tidak tergantung pada Tionghoa lagi. Dibidang ekonomi pengaruh pertentangan antara Soekarno-Hatta bisa dilihat dengan munculnya kebijakan-kebijakan pemerintah dimana kebijakan tersebut lebih menggambarkan kediktatoran Soekarno daripada konsep ekonomi yang dicita-citakan oleh Hatta. Kebijakankebijakan tersebut adalah kebijakan ekonomi Ali-baba karena rasionalisasi Belanda menjadi perusahaan nasional.

Kebijakan ekonomi yang lain dilakukan Soekarno pada tahun 1958 yaitu dengan menasionalisasikan firma-firma Belanda menjadi perusahaan nasional, walaupun kebijakan ini banyak ditentang oleh beberapa lawan politiknya terutama kalangan pengusaha swasta luar negeri tetapi tetap dijalankan oleh pemerintahan Soekarno

Akibat dari adanya kebijakan nasionalisasi firma-firma ini membawa dampak perhitungan yang tidak seimbang bagi pemerintah dibidang ekonomi. Ekonomi Indonesia yang morat-marit akibat dari persetujuan KMB yang mengharuskan Indonesia membayar pampasan perang Belanda ditambah dengan keras kepalanya ahli-ahli ekonomi Indonesia dalam membangun arah ekonomi masa depan Indonesia menjadi penyebab krisis yang berlangsung waktu itu.

Berganti-gantinya Kabinet rupanya menimbulkan kepanikan tersendiri, dimana kebijakan ekonomi yang diambil seharusnya dapat memecahkan masalah ekonomi yang terpuruk akibat krisis, menjadi tambah kacau. Kabinet Burhanuddin Harahap yang bertugas masa itu mencoba
memperbaiki dan mengatasi krisis ekonomi untuk menaikan gaji pegawai negeri dan militer, tetapi belum selesai bertugas kabinet ini harus menyerahkan mandatnya kepada Soekarno, sehingga permasalahan ekonomi tidak akan pernah selesai karena pemerintah dibawah Soekarno tidak pernah serius melaksanakan programnya, tetapi semua berada dibawah control asing sebagai implementasi dari adanya utang yang menumpuk.

Sejak tahun 1960-1963 kemerosotan ekonomi Indonesia terus berlangsung dan bertambah parah akibat berbagai petualangan rezim Soekarno. Pederitaan rakyat semakin hebat pada Tahun 1963 beban hidup rakyat Indonesia terasa amat menekan sekali. Harga beras yang mula-mula hanya Rp. 450 telah melompat naik menjadi Rp. 60 hingga Rp. 70, penderitaan rakyat ini membuat Bung Hatta prihatin.

Kepanikan yang dirasakan rezim Soekarno menghadapi kerusakan perekonomian Indonesia di selubunginya dengan petualangan baru yang disiapkan yaitu penolakan gagasan pembentukan Malaysia sebagai satu usaha Negara Kapitalis mengepung Indonesia. Program ini didukung dengan sepenuhnya oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) karena bagaimanapun juga PKI sebagai partai komunis menentang pembentukan negara yang pernah pro terhadap komunis. Lebih aneh lagi adalah keterlibatan militer oleh Nasution untuk memberikan dukungan penuh kepada Soekarno untuk konfrontasi dengan Malaysia.

Dalam mengatasi krisis ini pemerintah menggunakan berbagai cara diantaranya adalah menggagas adanya Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada tahun 1963. Dekon ini mempunyai program dengan bekerja membuat berbagai kebijakan diantaranya adalah :

1. Diciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa Imperialisme dan Feodalisme.
2. Ekonomi sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia. Dimana tiap orang dijamin mendapat pekerjaan, sandangpangan, perumahan serta kehidupan kultural dan spiritual yang layak. (

Kebijakan dekon ini tidak juga berhasil mengatasi kemorat-maritan ekonomi yang terus menggila, pada tahun 1965 pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan dengan membentuk sebuah badan yang bertugas menghentikan krisis ekonomi yang mengamuk dengan hebatnya. Badan yang dibentuk ini diberi nama dengan Komando Tertinggi Berdikari (Kotari) yang bertugas melaksanakan pembangunan ekonomi atas dasar berdiri di kaki sendiri (berdikari).

Sebuah tindakan lain di bidang ekonomi diambil pula oleh rezim Soekarno. Dikatakan untuk memenuhi hasrat rakyat Indonesia melaksanakan prinsip “berdiri diatas kaki sendiri”, maka di dikeluarkanlah Penpres pada tanggal 24 April mengenai penempatan semua perusahaan asing di Indonesia yang tidak bersifat domestik di bawah penguasaan pemerintah Republik Indonesia. Belum puas dengan membentuk berbagai badan menangani kemelut perekonomian ini, maka Soekarno telah membentuk pula sebuah badan lain bernama Dewan Pangan Nasional. Dalam badan-badan tertinggi ini senantiasa Soekarno menjabat ketuanya, dibentuk oleh Presidium atau staf pelaksana, tetapi pekerjaan badan-badan hanya di atas kertas belaka .

Teror PKI semakin meningkat baik dikota-kota besar, maupundidaerah pedalaman. Mereka melancarkan aksi-aksi terhadap yang mereka namakan setan desa dan setan kota, dan seakan pura –pura tidak tahu, bahwa mereka sendiri sedang berkolaborasi dengan setan-setan kota itu sendiri (Poesponegoro 1993). Dengan di mulainya teror PKI ini semakin mendekatkan diri dengan kehancuran Soekarno dalam memimpin negeri ini. Berawal dari Pemberontakan PKI pada tanggal 30 September 1965 soekarnomengawali kariernya sebagai presiden dengan memberikan Surat PerintahSebelas Maret (Supersemar) kepada Soeharto dilanjutkan dengan kudeta terselubung yang dilakukan oleh Soeharto, melengkapi penderitaan Soekarno dari jabatan Presiden.
11:05 AM | 0 comments | Read More

Bung Hatta (Ekonomi Sosialis Indonesia)

Bung Hatta sangat respek terhadap keberadaan koperasi, dimana keberadaan badan ini sudah terbukti kebenarannya karena telah melaksanakan sosialisme atau pelaksanaan ekonomi sosialis Indonesia. Sebagai seorang sosialis Bung Hatta dituntut mampu menghidupkan sosialisme dengan memberikan dorongan guna terintisnya jalan kesosialisme. Dengan tidak meninggalkan citacita dan berkemauan menjadi pelopor dan pembimbingnya.

Keberadaan BPS dirasa sangat perlu dan mendesak karena dapat mengetahui data statistik mengenai kekurangan dan kelebihan pada tiap-tiap bidang dan dapat mendeteksi bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk untuk dapat mengetahui kebutuhan dan perencanaan program pembangunan yang teratur.

Dalam konsep ekonomi sosialisme yang dianut Hatta, pemenuhan kebutuhan primer seperti air, listrik, gas atau bahan bakar lainnya sudah tercukupi dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam pengertian yangsebenarnya sosialisme tidak harus semuanya sama tapi disesuaikan dengan kemampuan individu dalam pemenuhan kebutuhan. Dalam pemenuhan kebutuhan perumahan juga tidak bisa dilepaskan peran dari badan-badan perwakilan rakyat untuk mengawasi dan mengontrol penyedian rumah yang berimbang.

Sosialisme ekonomi menurut Bung Hatta dalam kegiatan ekonomi diserahkan pada swasta, negara, dan koperasi atau campuran antara swasta dan pemerintah dengan pengawasan negara tentunya. Menurutnya swasta sama sekali tidak mendapat tempat sentral, tidak menentukan serta ada semacam larangan swasta dalam memegang monopoli.

Bung Hatta memfokuskan semata-mata bagi masalah distribusi sebab badan-badan perantaraan banyak tingkatnya antara produksi dan konsumsi yang akan memahalkan harga. Jika dilihat secara konkrit yang paling pokok bagi ekonomi sosialis adalah soal pengangkutan dan perhubungan, terutama di darat dan di laut. Disebut dengan istilah pengangkutan sosialis yang berfungsi untuk memenuhi keperluan rakyat.

Dengan demikian prioritas kehidupan ekonomi sosialis adalah pemenuhan kebutuhan primer seperti papan, sandang, pangan, pendidikan dan kesehatan.
11:03 AM | 0 comments | Read More

Ekonomi Indonesia, Soekarno (Ekonomi Terpimpin)

Dalam masyarakat sosialis menghendaki suatu perencanaan (planning) pasal 33 UUD’45, Bung Karno menegaskan bahwa ekonoi terpimpin menghendaki kegotong-royongan dilapangan ekonomi. Koperasi bidang usahanya untuk lapanngan saja, lapangan produksi dan lapngan distribusi. Beliau berharap agar koperasi tidak tenggelam.

Dalam pidatonya “Deklarasi Ekonomi” pada tangggal 28 maret 1963, Bung Karno menegaskan sudah waktunya mengerahkan potensi serta harus menganut basic strategy, dengan mengutamakan pertanian dan perkebunan, pertambangan yang dikerjakan secara gotong royong antara rakyat dan pemerintah sebagai syarat untuk menyalurkan daya kerja dan daya kreatif secara maximal. Sehingga Bung Karno menegaskan dasar ekonomi terpimpin ialah menyalurkan dan mengembangkan potensi rakyat.

Adapun dalam pelaksanaan kerjasama ekonomi dilakukan dengan cara bagi hasil “Product Sharing” antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, koperasi dipihak Indonesia/pihak asing. Production Sharing merupakan kredit dari luar negeri untuk melaksanakan suatu proyek yang dibayar sebagian dari hasil yang di peroleh malalui proyek tersebut. Tapi kepemilikan dan kepemimpinan harus tetap ditangan pihak Indonesia.

Pelaksanaan dekonsentrasi soal managemen dari pusat ke daerah, dengan tiak mengorbankan Indonesia sebagai suatu kesatuan ekonomi dan politik. Dengan demikian maka dukungan masyarakat menjadi sangat diperlukan. “social support” dari karyawan harus diikutsertakan dalam pengawasan. Misalnya pengangkatan karyawan harus banyak diisi oleh orang-orang dari daerah dimana perusahaan itu terus berada.


Agar masyarakat terjamin akan kebutuhannya dalam hal sandang, pangan dan papan maka pemerintah perlu memiliki “Iron Stock” yang lebih. Koordinasi bidang ekonomi dan keuangan diperlukan Komando Operasi Ekonomi (KOE), bertugas untuk segera mengadakan penelitian dan tindakan-tindakan guna mencapai perbaikan atau penyederhanaan prosedur-prosedur, seperti dalam bidang ekspor-impor.
11:01 AM | 0 comments | Read More

Sejarah dan Riwayat Perjuangan Soekarno-Hatta


Dalam sejarah pergerakan nasional dan kontemporer Indonesia, peranan para tokoh sejarah memegang kunci bagi kemerdekaan Indonesia. Sejarah para tokoh dan organisasi serta tujuannya banyak menghiasi perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa lalu mereka menjadi penganjur terwujudnya cita-cita kemerdekaan dan kedaulatan rakyat.

Mereka banyak terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan konflik politik yang terus menerus sesuai dengan perkembangan jaman. Setelah Indonesia merdeka, mereka dihadapkan pada persoalan bagaimana mempraktekkan apa yang dicita-citakan dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Di antara mereka yang menarik untuk dibahas adalah Soekarno-Hatta, karena keduanya berhasil menjadi pimpinan puncak ketika Indonesia merdeka hingga mereka kemudian “berpisah” secara baik-baik karena keyakinan politik yang berbeda.

Akhirnya, dasar pemikiran kedua tokoh ini kemudian banyak menjadi kajian berbagai ilmu. Namun demikian, seruncing apapun konflik tersebut, ternyata tidak memunculkan bentuk-bentuk perilaku politik yang cenderung anarki di antara keduanya. Mereka selalu menunjukkan persatuan dan kekompakan dalam hubungan sosial maupun kekeluargaan. Hal ini ditunjukkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta hingga akhir hayat mereka. Satu hal yang patut kita renungkan adalah bagaimana kita menyikapi tingkah laku sebuah pertentangan yang ada tanpa harus meninggalkan demokrasi dan hukum. Adakah konflik yang terjadi antara Soekarno dan Hatta yang bisa diambil sebagai pelajaran?

Di bagian kali ini kami akan mengangkat dari sisi pemikiran Ekonomi dari kedua tokoh ini untuk membangun bangsa yang baru terlahir ini ?


Riwayat Perjuangan Soekarno-Hatta

Kolonialisme Belanda di Indonesia, telah berurat dan berakar menguasai kehidupan bangsa Indonesia. Dominasi politik, eksploitasi ekonomi, diskriminasi sosial, dan penetrasi budaya, adalah wujud nyata dari kolonialisme. Perjuangan pergerakan Indonesia yang dimulai sejak awal abad XX, semakin lama semakin menunjukkan kegigihannya. Organisasi, taktik, dan strategi berjuang yang lebih modern menjadi ciri pergerakan bangsa Indonesia pada saat itu.

Setelah Perang Dunia I, semakin banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda dan mereka terlibat dalam pergerakan Indonesia, yaitu Indisch Vereeniging tahun 1908 yang kemudian setelah tahun 1925 menggunakan nama Perhimpunan Indonesia (PI) serta menerbitkan majalah “Indonesia Merdeka” yang dipelopori oleh Hatta. PI mencoba menyadarkan teman-teman seperjuangan tentang komitmen sebagai bangsa yang bersatu dan merdeka, menghapus gambaran orang Belanda tentang Indonesia, dan mengembangkan ideologi yang bebas dari pembatasanpembatasan khususnya komunisme. (Ingleson, 1988) Itulah ideologi nasionalis PI yang didalamnya mempunyai unsur kesatuan nasional yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia; unsur solidaritas untuk mempertajam konflik dengan penjajah; unsur nonkooperasi yang jadi dasar bahwa kemerdekaan harus direbut; dan unsur swadaya yang mendasari kepercayaan atas kekuatan sendiri. Skema perjuangan Hatta dan kawan-kawan dapat digambarkan sebagai berikut:

Pada tahun 1932, Hatta menjadi ketua PNI-baru. Organisasi ini pada tahun 1933 sudah mempunyai 65 cabang, dan kegiatan untuk mewujudkan Indonesia merdeka terus dilakukan. Ketika PPPKI dibentuk, Hatta tidak setuju dan PNI-Baru nya juga tidak jadi anggota “persatuan” itu. Ia bersikap kritis atas “persatuan” itu dan menyebutnya sebagai “persatean”. Atas kegiatan politik Hatta dan kawan-kawan tersebut, menyebabkan pemerintah kolonial menangkapnya tahun 1934. (Pringgodigdo, 1984)

Sementara itu, Soekarno yang lulus ELS tahun 1921, sejak masa mudanya dekat dengan tokoh HOS Cokroaminoto. Soekarno mulai berjuang sejak 1918 dan memulai karier politik yang sesungguhnya pada tahun 1927 dengan mendirikan PNI, dan setahun kemudian berhasil mendirikan PPPKI tahun 1928. Sikapnya yang populis, menyebabkan dia selalu memikirkan rakyat dalam objek perjuangan polilitiknya. Soekarno mempunyai pemikiran yang anti elitisme, anti imperialisme dan anti kolonialisme. Dia enggan dengan soal-soal ekonomi dan lebih suka berpikir sosial demokrat. Tahun 1930, Soekarno ditangkap karena ucapan-ucapannya yang keras terhadap pemerintah kolonial. (Onghokham dalam Abdullah, 1978: 20) Dalam usaha untuk mencapai Indonesia merdeka, Soekarno selalu mengingatkan kepada para pemimpin organisasi pergerakan, hendaknya bangsa Indonesia sudah bersatu lebih dulu dalam suatu organisasi rakyat umum yang tidak dapat dipatahkan, sebelum peperangan Lautan Teduh pecah. Menurut Soekarno, peperangan itu ialah perjuangan untuk merebut dan menguasai Indonesia. Jika bangsa Indonesia tidak mempunyai persatuan maka bangsa Indonesia hanya akan menjadi bola permainan negeri-negeri yang berperang saja. Buah pemikiran Soekarno yang sangat dikenal adalah faham Marhaenisme. Soekarno mengartikan Marhaenisme sebagai suatu ideologi kerakyatan yang mencitacitakan terbentuknya masyarakat yang sejahtera secara merata. Asas Marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi.
10:56 AM | 0 comments | Read More

Banyak partai politik yang berhaluan nasionalis

Jika ditanyakan kepada semua partai politik, apakah mereka berhaluan nasionalis dan memperjuangkan nasionalisme Indonesia itu? Maka mereka pasti menjawab: ya, kami nasionalis tulen, yang menempatkan nasionalisme itu sebagai aras perjuangan partai kami. Bahkan, partai yang mengedepankan agama pun, jika ditanya soal nasionalisme, maka mereka akan segera menjawab: kami nasionalis-religius.

Akan tetapi, kendati ada banyak partai politik yang berhaluan nasionalis, mengaku menempatkan nasionalisme sebagai aras perjuangan politiknya, tetapi tetap saja kekayaan alam kita yang melimpah bisa diangkut dengan mudah oleh perusahaan-perusahaan asing ke negeri asalnya. Meskipun banyak partai yang mengaku nasionalis, baik yang terang-terangan nasionalis maupun yang nasionalis religius, tetapi kondisi rakyat Indonesia sangat miskin dan sengsara.

Apa pula hubungannya antara nasionalisme Indonesia dan perampokan sumber daya alam? ataukah, apa hubungan nasionalisme Indonesia dengan persoalan rakyat Indonesia yang miskin dan sengsara?

Sejak awal, jauh sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno sudah mengatakan bahwa watak dari nasionalisme Indonesia adalah sosio-nasionalisme, sebuah bentuk nasionalisme yang secara terang-terangan berbeda dengan nasionalisme di eropa atau nasionalisme borjuis.

Dalam penjelasan mengenai apa itu sosio-nasionalisme Bung Karno mengatakan:

“Memang, maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, dan tidak ada kaum yang papa-sengsara.”

Menyimak pernyataan Bung Karno di atas, terang sekali bahwa sosio-nasionalisme atau nasonalisme Indonesia itu adalah berjuang untuk kemajuan atau kemaslahatan seluruh rakyat, bukan segelintir orang atau golongan. Mari kita melihat fakta: ekonom dari ECONIT, Hendri Saparini pernah mengungkapkan, ada 150 orang terkaya di Indonesia menguasai Rp650 trilyun, sedangkan ada 40 juta rakyat Indonesia hidup dengan 6 ribu per-hari.

Masyarakat yang pincang, dalam pengertian Bung Karno, adalah masyarakat kapitalis, yang mana di dalamnya terdapat kelas-kelas sosial. Oleh karena itu, Bung Karno menegaskan, bahwa sosio-nasionalisme itu haruslah nasionalisme kaum marhaen, dan menolak segala tindak borjuisme yang dianggap penyebab kepincangan.

Kalau mau disederhanakan lagi: sosio-nasionalisme Indonesia itu tidak hanya mencari atau mengusahakan Indonesia merdeka, yaitu lepas dari kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga mengusaha hilangnya kepincangan dalam masyarakat, yaitu menghilangkan susunan masyarakat kapitalis. Pendek kata: sosio-nasionalisme itu adalah anti-imperialisme dan anti-kapitalisme.

Dan, karena berwatak anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, maka nasionalisme Indonesia tidak berhenti pada tercapainya Indonesia merdeka saja. Sebaliknya, Indonesia merdeka itu hanya syarat saja untuk memperbaiki Indonesia yang rusak itu.

Sekarang, kita tanyakan kepada partai-partai yang mengaku nasionalis itu, apakah mereka juga anti-imperialisme dan anti-kapitalisme? Kalau tidak, mereka berarti bukanlah sosio-nasionalis atau bukan nasionalis ala Indonesia, melainkan nasionalis borjuis.

Seorang nasionalis, kata Bung Karno, harus membuka mata terhadap keadaan-keadaan yang nyata di dalam masyarakat. Jika ada nasionalis hanya sibuk bekerja di gedung parlemendan kurang peka dengan persoalan rakyat di sekitarnya, maka mereka itu bukan nasionalis. Seorang sosio-nasionalis, dalam pengertian Bung Karno, nasionalis yang mau memperbaiki masyarat dan juga anti segala stelsel (sistem) yang mendatangkan kesengsaraan bagi masyarakat itu.
10:54 AM | 0 comments | Read More

Saat G30S, Bung Karno Teradang Kepungan Tentara

Kabar penembakan di rumah Jenderal Abdul Haris Nasution pada 30 September 1965 membuat kaget Presiden Seokarno. Atas saran Letnan Kolonel Polisi (Purn) Mangil Martowidjojo, Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa kala itu, Bung Karno meninggalkan Wisma Yaso menuju Istana Merdeka. (Baca lengkap: Kegiatan Bung Karno Kala G30S/PKI Versi Pengawal)

Waktu konvoi sampai Jembatan Dukuh Atas, ada kabar lewat pemancar radio bahwa Istana dikepung tentara. Dengan handie talkie, Mangil mencoba menghubungi mobil Chrysler hitam berplat B 4747, yang ditumpangi Bung Karno. Tapi gagal. Sebab, alat komunikasi itu tidak berfungsi baik.

»Dengan kecepatan 40 kilometer per jam, mobil Chrysler semakin mendekati Istana,” kata Mangil dalam artikel Kisah-kisah Oktober 1965 pada majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984.

Masih berusaha mengubah rute kendaraan, Mangil berteriak ke konvoi agar belok kiri, menuju Jalan Kebon Sirih. Tapi usahanya sia-sia. Ajudan Bung Karno, Suparto, tidak mendengar perintah Mangil. Mobil Bung Karno tak berbelok, sedangkan dari kejauhan terlihat tentara yang mengepung Istana. Mangil kembali berteriak. Kali ini lebih keras, sampai akhirnya iringan mobil berbelok ke Jalan Budi Kemuliaan.

Karena lalu lintas macet, rombongan sempat terhenti. Kemudian muncul panggilan radio dari ajudan Kolonel Saelan. Mereka diminta menuju ke Grogol, ke tempat Harjati. »Dia adalah istri Bapak (Bung Karno) yang lain,” kata Mangil.

Konvoi tiba di rumah Harjati sekitar pukul 08.00. Satu jam kemudian, datang Ajudan Komisaris Besar Sumirat dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Mereka pun berunding soal tempat yang aman buat Bung Karno. Sejumlah usul keluar. Misalnya ke rumah kosong milik Sie Bien Ho di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tapi ide ini ditolak. Kolonel Saelan menginstruksikan Bung Karno dibawa ke Halim Perdanakusuma.

Kata Mangil, instruksi ini sesuai dengan pedoman bila presiden dalam bahaya. Beberapa pilihan menurut pedoman itu yakni dilarikan ke asrama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI, atau menuju ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di mana tersedia pesawat Jetstar yang siap terbang, langkah lainnya ke Tanjung Priok di mana ada dua kapal ALRI Varuna I dan Varuna II, atau Istana Bogor di mana terdapat helikopter.

»Berganti ke VW kodok biru, Bapak, Brigjen Sunaryo, dan Ajudan Sudarso menuju Halim pukul 09.30. Mobil dikendarai Suparto,” ujar Mangil.

G30S, Soekarno Bersembunyi di Halim dan Bogor
Selama pergolakan Gerakan 30 September 1965, Presiden Soekarno sempat berpindah tempat persembunyian beberapa kali. Dari Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto, Bung Karno mengumpet di Grogol, di rumah istrinya, Harjati. Kemudian ia hijrah ke Landasan Udara Halim Perdanakusuma. (Baca selengkapnya: Saat G30S, Bung Karno Teradang Kepungan Tentara)

Belum sampai landasan, mobil yang ditumpangi Bung Karno berbalik arah. Sebab, di depan Markas Angkatan Udara Halim, berdiri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani dan deputinya, Leo Wattimena. Mereka pun mencari tempat peristirahatan sementara bagi Bung Karno.

»Akhirnya kami ke rumah Komodor Susanto,” kata Letnan Kolonel Polisi (Purn) Mangil Martowidjojo di majalah Tempo edisi 6 Oktober 1984. Di masa terjadinya gerakan 30 September 1965, Mangil berlaku sebagai Komandan Detasemen Kawal Pribadi dari Resimen Cakrabirawa. Sedangkan Komodor Susanto adalah pilot pesawat yang biasa dipakai Bung Karno bila keliling Indonesia.

Di rumah itu, datang Brigadir Jenderal Supardjo, Mayor Subambang, Mayor Sutrisno, dan Brigadir Jenderal Sabur. Menjelang tengah hari, datang Jaksa Agung Jenderal Sutardhio dan Jaksa Agung Muda Brigjen Sunaryo. Lalu muncul Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata, Pangak Jenderal Sutjipta Judodihardjo, serta Menteri Koordinator Kabinet Dwikora I Dr Johannes Leimena.

Sekitar pukul 17.00, anak-anak Bung Karno hadir. Mereka adalah Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Tapi keempatnya tidak lama di sana. Mereka langsung diterbangkan ke Bandung dengan helikopter. Pukul 18.00, Komodor Susanto melaporkan adanya konvoi militer menuju Halim. »Tapi iringan dihentikan di depan pos PGT (Pasukan Gerak Tjepat) TNI-AU,” kata Mangil.

Malamnya, pukul 20.00, istri kelima Bung Karno, Ratna Sari Dewi Soekarno, datang ke Halim. Tapi tidak lama juga. Usai berdiskusi dengan Bung Karno, ia kembali ke Wisma Yaso. Sedangkan Kolonel Saelan mengatur persiapan buat meninggalkan Halim.

Kata Mangil, pelarian itu berjalan bertahap. Bung Karno menumpang mobil Prins biru, berplat B 3739 R. Bersama dia ada Leimena, Bambang Wijanarko Sudarso sebagai ajudan Bung Karno, dan Suparto. Semua pengawal, kecuali seorang yang berseragam Cakrabirawa, memakai baju preman. Selain itu tiap orang membawa revolver. Tujuannya agar tidak mencolok tentara yang patroli.

»Total ada delapan mobil pada rombongan. Di dalam jip terdapat 18 senjata Thomson. Dan jelang tengah malam, kami sampai di Istana Bogor,” kata Mangil.
10:48 AM | 0 comments | Read More

Bung Karno Berbicara Soal Krisis Kapitalisme

Bung Karno sering dianggap tidak faham ekonomi. Herbert Feith, dalam buku The Decline of Constitutional Democracy, mengkategorikan Bung Karno sebagai pemimpin solidarity maker (pemimpin massa). Feith menyebut tipe pemimpin solidarity maker hanya memiliki keahlian menghimpun dan membakar gelora massa, tapi tidak memiliki kecakapan untuk mewujudkannya.

Frans Seda, yang pernah menjadi menteri menjelang akhir kekuasaan Bung Karno, menganggap pengetahuan Bung Karno tentang ekonomi sangatlah berbobot. Tetapi, kata Frans Seda, pengetahuan ekonomi Bung Karno tidak bisa disamakan dengan Hatta.

“Bung Hatta menguasai ilmu dan analisa tentang sistem dan proses ekonomi, sedangkan Bung Karno punya feeling sebagai seniman cendekia tentang sistem ekonomi dengan segala implikasinya,” terang Frans Seda dalam buku “Frans Seda-Simfoni Tanpa Henti- Eknomi Politik Masyarakat Baru Indonesia”, yang diterbitkan Grasindo tahun 1992.

Bung Hatta memang pernah mengikuti pendidikan formal mengenai ekonomi secara mendalam di Rotterdam, Belanda. Boleh dikatakan bahwa Bung Hatta merupakan ahli ekonomi pertama dalam sejarah Indonesia. Bung Karno punya buku lengkap yang secara khusus membahas teori-teori ekonomi, yaitu “Beberapa Fasal Ekonomi”, yang ditulisnya dari tahun 1935 hingga 1941.

Sementara Bung Karno belajar ekonomi (dan politik sekaligus) dari guru-guru sosial-demokratnya dan karangan-karangan ekonom marxist yang terkenal jaman itu seperti Rudolf Hilferding, JA Hobson, Karl Kautsky, dan Rosa Lusemburg.

Dan, seperti dikatakan Frans Seda, Bung Karno-lah yang paling getol dan konsisten menggunakan analisa ekonomi marxisme dalam menganalisa struktur masyarakat, sistem kolonialisme, dan juga feodalisme. Bung Karno sendiri merumuskan gagasan-gagasannya dalam Pokok-Pokok Sistem Ekonomi Terpimpin.

Dalam sebuah kuliah tentang Pancasila di Istana Negara, 3 September 1958, Bung Karno menguraikan panjang lebar soal krisis kapitalisme. Katanya, Kapitalisme itu punya penyakit yang inherent, yaitu suatu pembawaan (sifat) dari kapitalisme itu sendiri. Penyakit inherent itu adalah kapitalisme akan selalu diganggu dengan krisis dan krisis itu terkadang berlangsung periodik.

Pandangan Bung Karno mengenai krisis kapitalisme yang bersifat inheren, tentunya sangat dekat dan akrab dengan analisa Marxisme. Dalam Manifesto Komunis yang digarap oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dikatakan:

“Sudah sejak berpuluh-puluh tahun sejarah industri dan perdagangan hanyalah sejarah pemberontakan tenaga-tenaga produktif modern melawan syarat-syarat produksi modern, melawan hubungan-hubungan milik yang merupakan syarat-syarat untuk hidup bagi borjuasi dan kekuasaannya. Cukuplah untuk menyebut krisis-krisis perdagangan yang dengan terulangnya secara periodik, setiap kali lebih berbahaya, mengancam kelangsungan hidup seluruh masyarakat borjuis. Di dalam krisis-krisis ini tidak saja sebagian besar dari baranghasil-baranghasil yang ada, tetapi juga dari tenaga-tenaga produktif yang telah diciptakan terdahulu, dihancurkan secara periodik.

Pernyataan Marx dan Engels itu juga diulangi Bung Karno. Menurut Bung Karno, saat kapitalisme banyak untung datanglah krisis. Pada saat kapitalisme hidup lagi, datang lagi krisis ekonomi. “Hidup lagi, banyak lagi untung, krisis lagi,” kata Bung Karno, seolah mengulang dalil-dalil Marxisme.

Bung Karno pun akrab dengan istilah “conjunctur” (kenaikan) dan “krisis” (kejatuhan). Ia mencatat bahwa terkadang periode krisis itu berlangsung “beberapa puluh tahun sekali”. Tetapi ada periode yang cukup lama, sering disebut “Im Aufstieg”, yaitu dari periode abad ke-18 hingga abad ke-20. Dalam periode itu ada conjunctur dan krisis.

Berikut cara Bung Karno menjelaskan conjucture itu:

“Barang produksi banyak dan juga laku, sehingga meerwaarde (nilai tambah) yang masuk ke kantong sang pengusaha banyak sekali. Produksi tinggi dan selalu habis terjual. Ini namanya conjunctur. Memang, kapitalisme membuat barang untuk dijual. Kapitalisme tidak membuat barang untuk individuale consumptie. Sang kapitalis membuat barang itu tidak untuk dirinya. Kapitalis membuat kue mari misanya, membikin itu bukan untuk dimakan sendiri. Tetapi: untuk dijual dengan untung. Untung adalah sebagian daripada meerwaarde yang masuk ke dalam kantongnya. Ini adalah sifat dari kapitalisme: produksi untuk dijual dengan untung.”

Tetapi, kata Bung Karno lebih lanjut, produksi itu akan sampai pada suatu titik dimana tidak semua hasil produksi tidak habis terjual. Itulah yang disebut krisis overproductie (over-produksi). Situasi itu terjadi, katanya lagi, ketika suatu barang tidak bisa dijual lagi, produksi mandeg atau terpaksa diperkecil atau dikurangi.

Ketika itu terjadi, kata Bung Karno, biasanya si kapitalis akan merespon dengan perbaikan dalam sistem produksi; perbaikan mesin-mesin, propaganda daripada produksinya yang lebih menarik kepada rakyat; penekanan daripada tenaga kaum buruh yang georganiseerd (terorganisir) di dalam serikat-serikat pekerja, dan lain sebagainya.

Analisa Bung Karno itu lagi-lagi sangat kental dengan analisa Marxisme; bahwa kejatuhan tingkat keuntungan akan direspon si kapitalis dengan mekanisasi produksi, menyebarkan iklan, memperluas sistim kredit konsumsi, dan menekan upah pekerja dan menghancurkan gerakan buruh terorganisir.

Pada suatu titik, seperti diuraikan Bung Karno, mekanisasi alat-alat produksi dan efisiensi itu mencapai tingkat maksimum, yaitu suatu fase dimana kecakapan manusia sudah sampai pada puncaknya untuk memperbaiki alat-alat. Saat itu, sistim bedrijf (perusahaan) sudah tidak bisa lagi disempurnakan.

Sementara, bersamaan dengan situasi itu, gerakan buruh sudah tumbuh dengan kuat dan terorganisir. Gerakan buruh menuntut kenaikan terhadap upah dan kondisi kerja mereka. Pada saat itulah, kata Bung Karno menyimpulkan, keuntungan (meerwaarde) si kapitalis akan semakin mengecil atau berkurang.

Bung Karno pun mencontohkan krisis yang menimpa pabrik-pabrik mobil Amerika Serikat jaman itu: Chrysler dan Ford Continental. Keduanya harus ditutup untuk sementara karena krisis.

Pada saat itulah, kapitalisme yang semakin kelelahan semakin tidak terhindarkan dari krisis-krisis yang lebih besar. Terjadilah periode yang disebut Niedergang (penurunan).

Bahkan, lebih hebat lagi, Bung Karno bisa menguraikan bagaimana krisis kapitalisme bisa menciptakan fasisme. Menurut Bung Karno, ketika kapitalisme mengalami periode krisis yang mendalam, maka demokrasi parlementer juga akan mengalami krisis dan tidak mampu bekerja.

Penyebabnya: Demokrasi parlementer memberikan kesempatan kepada semua orang untuk ikut bermusyawarah, tetapi alat propaganda, surat kabar, sekolah dll tetap di tangan si kapitalis. Meskipun kaum buruh bisa berpartisipasi dalam parlemen ini, tetapi mereka sulit untuk menguasai parlemen ini. Sehingga kaum buruh tidak bisa menuntaskan persoalannya.

Pada titik itulah, ketika demokrasi parlementer tak lagi menjadi jawaban atas krisis, maka kapitalisme memberi jalan kepada fasisme untuk menyelamatkan sistem. Inilah yang terjadi ketika kapitalisme mengalami krisis berat pada tahun 1920-an hingga 1940-an: kebangkitan fasisme dan perang dunia.

Bung Karno memang tidak bisa menjelaskan ekonomi secara “jelimet” (jeli), tetapi ia mengerti dengan betul apa itu ekonomi secara filosofis dan operasional. Ia mengerti dengan baik bagaimana sebuah ekonomi dapat diorganisir untuk kesejahteraan rakyatnya. Hanya saja, memang, pembangunan ekonomi tidak serta-merta dapat dihitung dengan rekenla
10:46 AM | 0 comments | Read More

Meneladani Pemikiran Ekonomi Bung Karno

JIKA kita kembali kepada fakta sejarah masa lalu, Bung Karno beserta tokoh lainnya berhasil merumuskan Pancasila sebagai sebuah ideologi negara yang sesuai dengan pandangan hidup dan cita-cita bangsa Indonesia.

Sebuah cita-cita yang tertuang dalam rumusan Pancasila dan pembukaan UUD 1945 berkomitmen untuk memerdekakan seluruh rakyat Indonesia. Baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Sehingga, terciptanya masyarakat Indonesia yang bebas merdeka dari segala bentuk penjajahan dan terpenuhinya hak sebagai warga negara untuk berpenghidupan laik.

Menilik penyelenggaraan pemerintah hari ini, secara kasatmata masyarakat bisa menilai bahwa cita-cita mewujudkan demokrasi Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat belum terwujudkan. Terlebih kecenderungan melemahnya peran negara yang dibuktikan dengan politik kepentingan. Selain itu, juga kebobrokan penyelenggara negara adalah bukti cita-cita Indonesia berdikari di bidang ekonomi sangat jauh dari bukti.

Benang merah kondisi ekonomi negara kita saat ini adalah buntut atas keberpihakannya kepada sebuah sistem ekonomi neoliberalisme. Di mana sangat menjunjung tinggi individualisme dan mekanisme pasar. Dampaknya, peran negara kalah oleh kelompok kapital yang sangat bebas mengocok perekonomian Indonesia.

Seharusnya kita tetap berpijak pada pemikiran ekonomi para founding father yang berhasil meletakkan nilai-nilai Pancasila dalam aktivitas ekonomi Indonesia. Seperti dicontohkan Bung Karno.

Pidato Bung Karno yang berjudul Deklarasi Ekonomi pada 1963 banyak memuat pemikiran dasar strategi ekonomi. Bung Karno mencoba menggunakan analisa marxisme untuk menjawab persoalan-persoalan ekonomi Indonesia.

Selain itu, dalam berbagai kesempatan pun Bung Karno mengungkapkan kedaulatan politik dan berkepribadian dalam kebudayaan tidak mungkin diraih bila tak berdikari dalam ekonomi. Begitu pula dengan kemandirian ekonomi, tidak dapat dilaksanakan bila bangsa kita tak ada kedaulatan secara politik serta berkepribadian dalam kebudayaan.

Berdikari yang digagas Bung Karno tidak hanya sebagai tujuan. Tapi juga sebagai prinsip dari cara mencapai tujuan. Di mana, prinsip untuk melaksanakan pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain. Tentunya nilai-nilai kemandirian ini bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.

Dengan demikian, nilai kemandirian dalam pemikiran ekonomi berdikari, Bung Karno berusaha memunculkan pemecahan persoalan ekonomi. Yakni dengan harapan, rakyat bisa berdaulat terhadap persoalan-persoalan ekonomi.

Sebagaimana pernyataannya dalam amanat proklamasi; ’’Perasaan dan pikiran saya mengenai ekonomi adalah sederhana, amat sederhana sekali. Boleh dirumuskan sebagai berikut: Kalau bangsa-bangsa yang hidup di padang pasir yang kering dan tandus bisa memecahkan persolan ekonominya, kenapa kita tidak’’.(Amanat Proklamasi IV:99)

Pernyataan tersebut jelas sindiran yang bermuatan motivasi bagi kita sebagai generasi penerus Indonesia. Gambaran dari pernyataan beliau bermaksud agar kita bisa memanfaatkan wilayah yang luas dengan kekayaan sumber alam melimpah dari bumi Indonesia untuk kemakmuran.

Tentu saja pernyataan beliau bukan hanya omong kosong. Tapi bukti dari gagasan beliau adalah dengan adanya Deklarasi Ekonomi (1963). Yakni meletakkan politik sebagai pembuka jalan bagi kebijakan perekonomian.

Dengan kekuatan politik ekonomi, Bung Karno berhasil berjuang menghapuskan sisa-sisa feodalisme dan imperialisme asing yang merenggut hak-hak rakyat Indonesia dan dengan mengembalikan kedudukan rakyat sebagai kekuatan ekonomi.

Menurut Bung Karno, rakyat adalah pemilik alat produksi. Sehingga, kedaulatan ekonomi harus di tangannya yang pada masa itu dikuasai para kapital (pengusaha) dan kaum feodal.

Sebagai langkah tindak lanjut dalam menjaga konsistensi terhadap kekuatan rakyat, Bung Karno sangat selektif pada bantuan/pinjaman modal asing. Bahkan, apabila pinjaman asing mengandung berbagai persyaratan untuk campur tangan dalam urusan kebijakan negara, sama halnya menggadaikan kedaulatan negara di tangan asing.

Berbanding terbalik dengan kondisi kebijakan penyelenggara negara kita saat ini, yang terkesan menggadaikan negara demi kepentingan pencitraan. Terbukti dengan meningkatnya utang luar negeri Indonesia pada 2012 menjadi USD221,60 miliar dari sebelumnya USD132,63 miliar pada 2006. (Data Bank Indonesia 2012).

Jika Bung Karno berani mengeluarkan pernyataan; go to hell with your aid, terhadap bantuan asing yang berlatar belakang kepentingan politik. Apakah penyelenggara negara kita saat ini berani demikian?

Tentu kita semua mengetahui jawabannya. Sebab, hingga kini para pemimpin kita masih bermental pengemis, peminta-minta utang kepada negara lain.

Hendaknya, gagasan Bung Karno yang menjadikan kekuatan rakyat sebagai tonggak untuk menjaga kedaulatan ekonomi bisa diteladani oleh penyelenggara negara kita saat ini dengan menolak tegas campur tangan asing
10:42 AM | 0 comments | Read More

Selamat Datang Di blog kami & Terima kasih atas kunjungan Anda